September 17, 2009

Masih Adakah Tanah Air bagi Kami ?


"Kami tidak mampu membeli sepatu yang kami buat. Kami tidak bisa memiliki baju yang kami jahit. Kami tidak bisa merasakan rumah yang kami bangun. Apa disini kami punya tanah air ?"

Namaku Sunarsih. Sih, begitulah Mas tejo kekasihku memanggil. Umurku genap 25 tahun bulan September ini. Hanya itu yang bisa kuperkenalkan. Karena memang cuma menjadi kekasih mas Tejo saja yang bisa kubanggakan. Pekerjaan? Awal bulan September 2009 lalu, aku resmi menggangur. Genap 1 tahun aku bekerja di salah satu pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara Cakung yang menjadi tempatku mengais nafkah. Mereka memutuskan kontrak kerja denganku.

Insert:

“Yah…baru 2 minggu kemaren dipecat. Lha begini ini nasibnya buruh outsourcing. Mau protes ga bisa karena sudah jadi kesepakatan. Tapi sekarang kalo ga lewat begituan juga ga bisa kerja. Pabrik itu pinteran mbak. Kita diputus kontraknya pas mau leberan. Biar ga bayar thr. Jadinya ya tetep aku ga bisa pulang kampong.”

Sekarang kesibukanku membantu mas Tejo berjualan gorengan di dekat pabrik tempatku bekerja dulu. Mungkin memang beginilah garis yang diberikan Tuhan padaku. Menolak dikirim bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tahun 2003 aku bertolak dari kampungku di Sragen, Jawa Tengah ke Jakarta. Jadi buruh memang tujuanku. Sebenarnya apapun pekerjaanya asal halal dan tidak menjadi pembantu, akan kujalani. Akhirnya, kamar kos berukuran 2 X 3 meter inilah yang menjadi pelabuhanku selama 5 tahun terakhir.

Insert:

“saya ga mau jadi pembantu. Pokoknya ga mau. Nah, saya lari dari rumah karna mau dikirim ke Surabaya buat jadi pembantu. Ikut sama saudara saya yang sudah duluan kesana.asal saya dari sragen.”

Cintaku akan mas Tejo sudah mentok. Hanya dia saja lelaki yang mau menerima aku apa adanya. Yah…aku sudah di vonis tidak bisa punya anak. Apa coba yang bisa disebut lebih kejam bagi seorang perempuan, selain tidak bisa merasakan keajaiban mengandung dan melahirkan. Tak bisa membawa kehidupan baru. Semua itu berawal dari aksi protes kami, para buruh pabrik sepatu ternama di KBN Cakung tahun 2004.

Insert:

“Siapa yang ga mau protes, 2 bulan gajian Cuma separo. Dibayar dengan perjanjian bersedia menandatangani PHK massal tanpa menuntut upah PHK. Itu kan gila namanya. Kami ini kan masih manusia, lha wong hewan ajah kalo dipotong jatah makannya ngamuk kok.”

Waktu itu suasana di pabrik memanas. Kebijakan pengusaha disambut unjuk rasa besar-besaran selama 3 hari. Di hari terakhir, pimpinan perusahaan berjanji akan memenuhi semua kewajiban. Melunasi gaji yang tertunda selama 2 bulan dan memberikan uang PHK sebesar 1 bulan gaji. Ternyata lagi-lagi janji tinggalah janji. Saat hari pencairan uang tiba, janji itu menguap. Semua direksi lenyap dari pabrik. Kami kalap. Kami masuk ke pabrik. Buruh lelaki menduduki pabrik. Buruh perempuan kembali ke rumahnya mengambil peralatan sehari-hari. Di pabrik tempat kami bekerja inilah kami membentangkan spanduk dan tidur disana. Disinilah awal perkenalanku dengan mas Tejo.

Insert:

“wah…waktu itu semangat sekali kita. Pabrik sudah kayak rumah sendiri. Kita masak, makan, minum dan segala macem ya disitu. Siang malam diskusi soal rencana selanjutnya. Tapi hari ketiga kita disitu, mulai ada orang-orang berbadan kekar sekirar 20 orang. Mereka ngancam kalo kita terus disitu kita semua bakal babak belur. Kami tidak takut. Lha wong jumlah kami lebih banyak.”

Memasuki hari ke tujuh suasana bertambah tegang. Pagi hari, belum lagi kami sadar, satu truk preman lengkap dengan pentungan bersepatu tentara masuk ke ruangan tempat kami tidur. Mereka mengobrak-abrik semua yang kami punya. Kompor, piring, gelas baju, semua jadi sasaran. Kami yang belum solid dan sama sekali tidak terhimpun dengan baik jadi kocar-kacir. Para preman kemudian mengumpulkan para perempuan di tengah ruangan yang dijaga ketat. Entah kenapa mereka kemudian menyeret sahabatku. Yah…mereka mengambil Rina yang berdiri tepat di sebelahku. Mungkin karena Rina berparas ayu. Kala itu aku merasa sangat beruntung memiliki wajah yang biasa saja.

Insert:

“waktu ngambil rina, mereka ngacam kalau kami berani macam-macam, Rina bakal tidak selamat dan kondisinya bisa lebih buruk dari Marsinah. Mereka juga mengancam kalau siang itu kami harus pergi dari sini.”

Kemudian mereka pergi membawa Rina, kawan kami. Kami ketakutan dan bingung. Perempuan-perempuan mulai menangis. Tapi tidak denganku. Harus ada yang berpikiran sehat, ulangku pada saat itu. Rapat besar hari itu di putuskan kami tidak akan pergi sebelum Rina kembali dan hak kami dipenuhi. Apapun yang terjadi. Benar saja, menjelang sore, kira-kira jam 3, dua mobil truk pengangkut pasir masuk ke pabrik dan pereman berbadan kekar lengkap dengan pentungan dan sepatu tentara itu datang lagi. Tidak ada lagi perundingan. Komando untuk segera meninggalkan pabrik atau di hajar habis dikumandangkan.

Insert:

“kami teriak, kami keluar kalo Rina kembali. Habis itu ga ada ampun. Semua orang di hajar habis. Beruntung masih ada yang sempat telpon keluar minta tolong. Ga tau siapa orangnya. Ngeliat kayak gitu semua orang langsung lari ke pintu keluar. Tapi pintu dah ditutup. Ini sudah kayak perang. Rambut dijambak, saya masih bisa lari. Muka ditonjok, saya masih bisa diri tapi begitu pert saya ditendang keras banget,saya ga inget apa-apa lagi.”

Dan terjadilah peristiwa naas itu. Begitu membuka mata, yang ada hanya putih dan rasa nyeri di perut yang teramat sangat. Setelah itu baru kulihat Mas Tejo dan Rina. Melihatku sadar, rina langsung memelukku erat sambil menangis. Dia baik-baik saja, malah kami yang babak belur. Seminggu di Rumah sakit, kawan yang paling setia menjagaku adalah Rina dan mas Tejo. Kata mereka, darah yang keluar dari tubuhku banyak sekali. Mas Tejo juga yang menemani aku waktu dokter memvonis aku tidak lagi bisa punya anak. Bukannya surut, setelah itu dia malah melamarku.

Insert:

“Dia yang nemenin saya waktu ngadep dokter. Terus habis itu saya dilamar deh. Tapi sampai sekarang belum bisa nikah. Ga punya duit. Kami juga sepakat buat ga ngasih tau keluarga masing-masing kalo saya ga bisa punya anak.”

Sampai sekarang aku masih trauma melihat lelaki bertubuh kekar. Orang-orang yang dulu menghabisi kami masih sering berkeliaran di sekitar tempat kosku. Mereka adalah orang-orang yang dibayar untuk mengekalkan kekuasaan dan penindasan. Mereka adalah orang-orang yang rela menggadaikan nurani. Aku tidak takut jika aku sebutkan data lengkap pabrik sepatu laknat itu. Aku tidak takut, karena bagiku aku sudah mati bersama vonis dokter. Tapi aku takut akan keselamatan orang-orang yang aku sayangi. Orang-orang yang lebih dari sekedar teman dan sahabat.

Kami tidak mampu membeli sepatu yang kami buat. Kami tidak bisa memiliki baju yang kami jahit. Kami tidak bisa merasakan rumah yang kami bangun. Apa di sini kami masih punya tanah air????

Naskah Feature Radio VHRmedia.com edisi September 2009
Ditulis oleh Indah Nurmasari

September 12, 2009

Menatap Senja...

[Photo courtesy of Irma M. Setiono]

Menatap senja sore hari ini, teringat aku perkataan seorang teman...

"Sungguh malang nasip sang senja. Siang tak pernah mau menunggunya, sedang malam selalu meninggalkannya...sungguh malang nasip sang senja, waktunya teramat pendek, dan ia mati muda setiap hari...."

Aaah, kenapa segala sesuatu yang indah terkadang hanya dapat kita rasakan sesaat saja, dan sering begitu cepat berlalu, padahal aku masih ingin mereguk kemesraan bersamanya...