Tak ada yang istimewa dengan gandum, air dan garam. Ketiganya adalah bahan-bahan yang sudah kerap kita jumpai di dapur kita. Tetapi di tangan Idries Shah (m. 1996), sarjana kelahiran India yang banyak menulis tentang dunia sufi (tasawwuf, mistik Islam), gandum, air, dan garam bisa menjadi metafor yang menarik tentang perjalanan hidup manusia menuju kepada kematangan. Saya mengutip metafor ini dari buku Shah yang memuat kisah-kisah sufi yang menarik, Tales of the Dervishes (1969).

Kita melihat gandum terhampar di ladang yang luas, air mengalir dari mata air yang jernih, dan garam tersembunyi di tambang yang begitu kaya. Ketiganya berada dalam kondisi alamiahnya masing-masing. Sebelum ada “tangan” manusia yang menyentuhnya, ketiga benda itu hanyalah barang-barang “mati” yang mengandung potensi tertentu.

Dalam kondisi alamiahnya, gandum hanyalah gandum belaka. Saat tangan manusia menyentuhnya, memanennya dari ladang, dan mengangkutnya ke tempat pengolahan, maka gandum berubah menjadi terigu. Gandum mengalami kenaikan maqam, kelas. Hal serupa terjadi pada air dan garam. Saat tangan manusia menyentuh keduanya dengan cara tertentu, mereka menjadi air dan garam yang mempunyai kegunaan yang lebih luas.

Akan tetapi, terigu, air, dan garam yang sudah disentuh tangan manusia pun akan menjadi benda yang saling terpisah satu dari yang lainnya, jika tak mengalami kenaikan kelas lebih lanjut. Perubahan kualitatif terjadi saat ada “koki” ahli yang menggabungkannya dalam adonan, dan membuatnya menjadi roti.

Gandum, air, dan garam bisa menjadi sesuatu yang berguna karena melewati tangga-tangga yang terus menaik, meninggi, hingga mencapai ke tingkat yang sempurna -- roti.

Dalam kondisi alamiahnya, ketiga benda itu tak banyak berguna bagi manusia. Itulah tangga pertama, tangga alamiah. Saat tangan manusia menyentuhnya, tiga benda itu mulai memperlihatkan kegunaannya – gandum jadi terigu, air alami jadi air dalam bak, garam alami jadi garam olahan yang berguna untuk berbagai kebutuhan. Itulah tingkatan kedua, tingkatan kultural.

Tingkatan tertinggi tercapai saat ketiga benda itu diolah seorang koki ahli dan kemudian menjadi roti. Itulah tingkatan ketiga, tingkatan “spiritual”. Di mata kaum sufi, perjalanan gandum, air, dan roti adalah metafor yang menggambarkan juga perjalanan manusia menuju kepada kesempurnaan tertinggi, yaitu tingakatan spiritual yang dalam bahasa mistik Islam sering disebut dengan maqam ma’rifat.

Saat manusia lahir, ia mempunyai potensi alamiah yang tersembunyi, persis seperti gandum, air, dan garam dalam kondisi naturalnya. Potensi itu tak akan pernah muncul secara aktual ke permukaan manakala tak ada “tangan” yang menyentuhnya, sehingga sesuatu yang semula “potensial” itu menjadi “aktual”. Tanpa sentuhan itu, manusia akan tetap seperti gandum yang tak berubah jadi terigu.

Begitulah, tanpa seorang “guru” yang menyentuh potensi tersembunyi itu, ia tak akan pernah muncul ke permukaan. Pada level kedua ini, manusia belajar ilmu dan sains dengan pelbagai cabang-cabangnya yang rumit dan banyak.

Pada level ini, manusia berusaha belajar keras untuk meraih ilmu, entah agama atau ilmu-ilmu duniawi – fisika, kimia, biologi, kedokteran, ekonomi, politik, sosiologi, antropologi, dan cabang-cabang yang lain.

Tetapi, ini belumlah tahap yang memadai. Pada level ini, manusia baru berhenti pada tingkatan “terigu”. Dia belumlah menjadi roti. Untuk naik satu tangga lagi, manusia butuh bukan sekadar guru yang mengajarkan ilmu-ilmu tersebut. Ia butuh “guru” dalam pengertian lain, yakni Guru Kebijaksanaan; Guru dengan huruf “G” besar.

Pada taraf inilah, manusia melangkah ke taraf tertinggi, taraf pencerahan, persis saat gandum disentuh oleh seorang Koki, kemudian dicampur dengan air dan garam, lalu menjadi roti. Manusia tentu punya kebebasan sepenuhnya untuk berhenti pada level gandum, atau bergerak ke level terigu, atau berusaha lebih jauh lagi menjadi roti.

Saat manusia berhenti pada satu level tertentu, dan malas bergerak ke level berikutnya, biasanya ia akan gampang mengidap penyakit sombong. Saat gandum merasa dirinya sudah cukup sempurna, dan mengira tak ada maqam/tingkatan lain yang lebih tinggi, dia bisa terjebak pada perasaan jumawa, sombong. Inilah kesombongan yang timbul karena cara pandang yang “parokialistik” atau sempit.

Saat gandum, air, dan garam menjadi roti, ketiganya tentu saja mengalami perubahan bentuk. Jika gandum ngotot tak mau berubah bentuk menjadi terigu, lalu berubah bentuk lagi menjadi roti, maka ia akan terjebak dalam kondisi alamiahnya sebagai gandum yang kurang banyak berguna.

Begitu juga, manusia tak akan bisa mencapai taraf “roti”, taraf ma’rifat, taraf pencerahan, jika tak bersedia melakukan perubahan mendasar pada dirinya – dari sikap parokialistik, sempit, dan arogan karena menguasai jenis ilmu tertentu, ke sikap terbuka, mau berdialog dengan orang-orang lain dengan ilmu-ilmu yang berbeda.

Untuk mencapai taraf itu, manusia butuh Guru Kebijaksanaan – bisa Guru dalam pengertian personal, atau Guru dalam pengertian proses untuk terus-menerus belajar dan dialog dengan orang-orang yang berbeda, dengan tradisi dan ilmu yang berbeda-beda pula.
Dengan proses seperti itulah, manusia akan menjadi “roti”, menjadi pribadi yang bijak, yang tercerahkan.

Masalah kerap kerap timbul karena adanya arogansi “provinsialistik”, entah di kalangan akademik, kalangan agama, atau kalangan masyarakat secara luas. Arogansi itu timbul karena masing-masing pihak merasa bahwa ilmunya adalah yang paling “super”, bahwa paham yang ia anut adalah yang paling baik, bahwa golongan lain sudahlah pasti tak berguna, karena salah atau malah “tersesat”.

Dengan kata lain: karena si gandum merasa bahwa keganduman adalah tahap tertinggi. Dia tak tahu, ada tahap yang lebih dari itu -- tahap roti.
[Source: Ulil Abshar Abdalla at BeritaSatu.Com]