March 13, 2009

Resensi Buku: Luka Papua

Jurnalis muda Papua mencoba mengurai persoalan besar tanah mereka: HIV, otonomi khusus, dan perang suku. Melalui reportase mereka menulis secara mendalam tentang perang suku di Timika, otonomi khusus dengan fokus dana Rencana Strategis Pembangunan Kampung di Jayapura, dan persoalan HIV/AIDS di Merauke. Ketiga tema itu merupakan persoalan yang paling krusial untuk segera diselesaikan.

Virus Maut
Papua menempati urutan kedua jumlah pengidap HIV/AIDS setelah Jakarta. Dana miliaran rupiah telah dikucurkan pemerintah dan donor untuk menanggulangi dan mencegah penularan virus tersebut. Ajaibnya, semakin banyak dana dikucurkan, angka pengidap HIV/AIDS justru meningkat. Jadi, di mana kesalahannya?

Di Merauke, HIV/AIDS kali pertama ditemukan pada 1993, berdasarkan hasil zero survey 1992. Masyarakat Merauke dan Papua sempat mempercayai AIDS masuk ke Merauke dibawa oleh nelayan Thailand. Dugaan ini belakangan diragukan oleh pihak-pihak yang bergelut dengan persoalan HIV/AIDS di Papua, karena tidak ada penelitian yang pernah membuktikannya. Menurut mereka, nelayan asal Thailand dijadikan kambing hitam karena Merauke memberikan peluang bagi pendatang dan warga asli keluar masuk dan melakukan hubungan seks berisiko.

Upaya pencegahan dan penanggulangan baik oleh pemerintah ataupun LSM belum mampu menurunkan angka pengidap HIV/AIDS di Papua. Kecurigaan akan adanya penyalahgunaan dana penanggulangan HIV/AIDS pun timbul. Namun, besaran penyelewengan dana itu tidak diketahui karena tidak ada transparansi mengenai alokasi dan pengelolaan dana tersebut.

Alih-alih memberikan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, pemerintah Papua belum mampu menghapus stigmatisasi dan diskriminasi masyarakat Merauke terhadap pengidap HIV/AIDS. Peran agama, baik rohaniwan maupun institusinya, dalam penanggulangan HIV/AIDS belum konkret. Misalnya saja, pemakaman jasad pengidap HIV/AIDS sering dilakukan secara diam-diam pada malam hari. Itu pun hanya dihadiri segelintir orang. Belum lagi kisah orang-orang yang bunuh diri karena mengetahui dirinya positif HIV.

Meski Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo mengatakan bahwa orang yang hidup dengan AIDS (ODHA) juga manusia dan perlu didukung oleh masyarakat, Pemda Boven Digul justru berencana membangun rumah sakit yang memiliki ruang khusus bagi ODHA agar ODHA tidak berkeliaran dan menyebarkan HIV/AIDS. Pemda Papua bahkan bermaksud memasang microchip di tubuh ODHA. Hal itu tertuang dalam rancangan peraturan daerah bidang kesehatan yang mengatur tentang HIV/AIDS. Peserta Kongres Nasional ODHA II di Jawa Barat pada Agustus 2007 menolak keras rencana tersebut.

Prostitusi di kota dan hutan Merauke dituding sebagai tempat penyebaran HIV/AIDS. Di setiap lokalisasi prostitusi dipajang imbauan untuk menggunakan kondom. Namun, masih ada saja pengguna jasa PSK tidak mau memakai kondom. Ternyata keengganan memakai kondom berkaitan dengan budaya yang dipegang teguh masyarakat Papua hingga kini. Mereka memiliki keyakinan sperma tidak boleh dibuang sembarangan. Termasuk menabukan penggunaan kondom sewaktu berhubungan seksual.

HIV/AIDS tidak hanya mengancam mereka yang tinggal di kota. Investigasi para jurnalis muda Papua mendapati hutan seperti Asmat pun tidak luput dari penyebaran HIV/AIDS. Kayu gaharu menjadi titik awal kasus ini. Menurut penelitian, lokalisasi di daerah pencarian dibangun pada 1997, dengan sederhana, hanya beratapkan terpal biru dan kayu rahai. PSK-nya hanya tiga orang. Tiap hari ketiga perempuan itu melayani puluhan pencari gaharu. Praktik ini berlangsung cukup lama, sekitar dua-tiga tahun. Selama itu pulalah mereka tidak menggunakan kondom.

Yang menarik, isu genosida mencuat sehubungan dengan tingginya penyebaran HIV/AIDS di Papua. HIV/AIDS disebut-sebut sebagai salah satu praktik genosida di Papua. HIV/AIDS dituding menjadi penyebab semakin berkurangnya peluang orang Papua untuk hidup. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh West Papua Project dan ELSHAM pada 2005 menyebutkan selama 50 tahun rakyat Papua hidup dalam ancaman keselamatan. Pembasmian pendukung kelompok separatis oleh militer, tingginya angka HIV/AIDS, hingga gizi buruk disebut sebagai genosida terhadap orang Papua. Pro-kontra bermunculan menanggapi isu penggunaan HIV/AIDS sebagai genosida di Papua.

Sendius Wonda dalam buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat juga menyebutkan HIV/AIDS merupakan salah satu pemicu genosida di Papua. Buku itu ditarik dari peredaran oleh Kejaksaan Negeri Jayapura berdasarkan keputusan Jaksa Agung dalam Kep-123/A/JA/11/2007. Namun, masih terlalu dini untuk membicarakan genosida orang Papua. Genosida bisa terjadi jika kekerasan militer, teror, dan HIV/AIDS berjalan beriringan. Selama masih ada penanggulangan HIV/AIDS dari pemerintah, masyarakat, dan LSM, genosida tidak perlu dibicarakan.

Hujan Uang di Tanah Papua
Sejak Inpres Percepatan Pembangunan Papua No. 5 Tahun 2007 diresmikan, Papua seolah kebanjiran uang. Inpres tersebut diterjemahkan dalam Perda Khusus tentang Otonomi Khusus yang disetujui Majelis Rakyat Papua. Dalam Perdasus ini Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menjelaskan fungsi kewenangan pemerintah daerah dalam mengalokasikan, memanfaatkan, dan mempertanggungjawabkan seluruh dana otsus. Dalam perdasus disebutkan dana otsus diperuntukkan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan orang asli Papua.

Salah satu program Otonomi KHusus yang dicetuskan pemerintah Provinsi Papua adalah pengucuran dana Rencana Strategis Pembangunan Eknomi Kampung (Respek). Warga 4.000 kampung di Papua berhak mendapat dana hibah Rp 100 juta untuk membangun kampung mereka. Dana Respek dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: dana hibah dari pemerintah provinsi dan kabupaten, dana hibah dari lembaga donor, dan dana bantuan berupa program yang diberikan pada sektor-sektor yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten.

Secara teori, mekanisme pemberian dana Respek disalurkan langsung ke kampung melalui rekening kolektif masyarakat kampung yang dapat dicairkan melalui kas daerah/bank/kantor pos terdekat. Masyarakat kampung yang akan memutuskan melalui forum peruntukan dana tersebut. Pertanggungjawaban penggunaan dana juga dilakukan melalui forum terbuka dua kali setahun. Kelompok pelaksana kegiatan menyampaikan laporan kepada forum yang kemudian diverifikasi oleh lembaga pengelola dana kepada forum. Jika pertanggungjawaban diterima, maka dapat dilakukan pencairan untuk tahap kegiatan berikutnya. Jika ditolak, lembaga pengelola harus memberikan alternatif pemecahan masalah yang dapat diterima forum.

Secara realitas, pembagian dana tersebut tidak merata. Mayoritas masyarakat di kampung-kampung Papua mengaku tidak menerima dana Respek. Tidak adanya aturan yang jelas mengenai peruntukan dana ini membuat masyarakat yang tidak menerima dana merasa kecewa. Lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan penyaluran dana Respek menjadikan praktik manipulasi oleh kepala kampung. Pada praktik di lapangan, tidak ada pendampingan dari pemerintah provinsi, sehingga program tersebut tidak efektif dan cenderung buang uang.

Perang Tiada Akhir
Perang adat yang biasa disebut perang suku di Papua tidak melulu mengumbar kekerasan. Perang adat dilakukan untuk menjaga martabat dan memenuhi rasa keadilan. Pembalasan dendam dalam perang adat sering dimaknai sebagai langkah untuk mencari keseimbangan sosial yang lebih mirip persaingan ketimbang kerusuhan sosial. Oleh karena itu, dalam setiap perang suku, selalu ada tuntutan mengenai jumlah korban yang jumlahnya harus sama di antara kelompok yang bertikai. Pelanggaran terhadap tata tertib perang akan mendapat tuntutan denda, ganti rugi dalam jumlah besar setelah perang selesai. Salah satu aturan perang adalah mereka akan bersama menentukan tempat perang, waktu, dan siapa penanggung jawab perang.

Pemicu perang adat bisa macam-macam. Dalam masyarakat suku Amungme, pemicu perang misalnya persoalan utang mas kawin yang tidak dilunasi, perampasan perempuan, pencurian babi, atau pelanggaran batas wilayah. Sedangkan dalam masyarakat suku Nduga, pemicu bisa berupa pencurian ubi, buah merah, perzinahan, pelanggaran batas kebun, dusta, dan prasangka. Seringkali masalah yang tadinya kecil menjadi besar karena adanya provokasi dari pihak-pihak lain. Akibatnya masyarakat mudah diadu domba dan terjadilah perang suku.

Buku ini mencoba mengurai tiga perang adat yang paling disoroti: perang pemekaran Papua Tengah, Perang Kwamki Lama, dan Perang Banti - Kimbeli. Perang suku menjadi semakin besar karena pihak yang bertikai mudah terpancing isu yang belum jelas kebenarannya.

Disebut-sebut perang adat merupakan provokasi kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan di Papua. Kelompok tersebut merekayasa konflik yang disusupkan dalam tradisi perang suku. Terlebih masyarakat Papua masih menganggap perang adat sebagai petuah leluhur untuk mempertahankan nilai-nilai kehidupan. Apa pun pemicunya, perang adat meninggalkan luka di antara masyarakat Papua.

Buku karya para jurnalis Papua ini memang hanya mengungkapkan sedikit dari sekian banyak masalah kehidupan masyarakat Papua. Apa pun, mereka layak mendapatkan ucapan selamat atas keberanian mengangkat isu-isu yang sensitif di Papua.

Judul Buku : Luka Papua: HIV, Otonomi Khusus, dan Perang Suku (Sebuah Karya Jurnalis Muda Papua)
Penulis : Angela Flassy, Carol Ayomi, Christian Hamdani, Indri Q. Jamilah, Jeremias Omona, John Pakage, Markus Makur, Paulus Kafiar, Pietsau Amafnini, Yunus Paelo; Editor: FX Rudi Gunawan
Penerbit : Spasi dan VHR Book, 2008
Halaman : xvii, 197 hlm

"You" and The Memory of 4+1,5 Years Ago


About 1,5 years ago I wrote this below writing on my previous blog home here. I just suddenly remember this experience again, and need to admit it, that I miss "you" deeply...so here I re-write this again at my new home here.

And ooh ! Where are you now ???
----------------------------------------

4 Years Ago ….


4 years ago I was diving for the first time in the beauty of your underwater world. It was an unforgetable moment ever since. I was falling in love with you and all about you. I was experiencing all of your parts. From the very deep down of the water that I possible to dive in, the drop off, the reef and coral, the beach and your white sands, and all the sea creatures in you that I possible to see. All part of you. I thought I knew all about you, but still a biggest part of your heart remains mistery to me.

For these 4 years, I am thinking of you almost every day in my life. Will I see you again ? Will I possible to dive into you again? Will I have another chance to visit you again. You and the beauty inside you, are my wish and my pray. My everyday thought. My dream before I fell to sleep on the night. You are more than just an underwater world to me !

If God is so good to me, than today is HIS best gift given to me. Giving me another chance, even just for a short visit, to dive into your beauty again. To touch and to feel you again with all of your beauty parts that always stay in my dreams and mind. Including your strong current and high waves. The most moody part of you ! You are just as great as you were in last four years ago. When I may not as experienced as today. Not seen life as much as today.

4 years ago I fall in love with you. And today when I dive into you again, I thought I will have a different kind of feeling. As I feel more mature, more experiences, etc. But the feeling is still as virgin as I had it for the first time. Four years ago ….

March 12, 2009

Unloved


It is easy to love the people far away. It is not always easy to love those close to us. It is easier to give a cup of rice to relieve hunger than to relieve the loneliness and pain of someone unloved in our own home. Bring love into your home for this is where our love for each other must start. 

"One of the greatest diseases is to be nobody to anybody". 

[quoted from Mother Theresa] 

March 5, 2009

Kisah Sedih Prasetyo


"Mereka yang tumbang paling awal. Dan bangkit paling akhir...."


Ini cerita tentang seorang lelaki bernama Presetyo, mantan buruh perusahaan pengekspor pertanian di Semarang. Awal Desember 2008 kemarin bersama ribuan karyawan lainnya, Prasetyo harus kehilangan pekerjaannya. Ia tak pernah menyangka rontoknya pasar saham Wall Street di Amerika-Serikat, negeri "super-power" yang hanya dikenalnya lewat tayangan-tayangan berita di media Indonesia, ternyata juga memiliki "power" untuk menghancurkan periuk nasi keluarganya, dan ribuan buruh lainnya di Indonesia. Kini berbekal uang pesangonnya sebesar 10 juta rupiah, Prasetyo berencana untuk memulai hidup baru sebagai peternak di kampung halamannya, di Temanggung [dikutip dari www.vhrmedia.com - Tumbal-tumbal Krisis].

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Suparno, mengatakan hingga akhir November 2008 telah terjadi pemecatan terhadap 23,927 buruh. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten mencatat, sejak krisis ekonomi global terjadi sudah lebih dari 11 ribu buruh di "rumahkan". Dan tidak tertutup kemungkinan jumlah ini akan semakin bertambah ditahun ini. Masih akan ada "Prasetyo" lain yang sangat mungkin mengalami nasip serupa.

Teringat aku saat pertama kali diproklamirkan telah terjadinya gelombang krisis ekonomi, bahkan hingga menjelang penghujung tahun 2008 sejumlah pengamat ekonomi meyakini krisis dunia ini tidak akan mampu mengolengkan perahu ekonomi negeri kita, dan memang pada saat itu dampaknya belum terlalu dirasakan oleh hampir seluruh pelaku bisnis di Indonesia. Aaah begitu sombongnya kita saat itu ! Namun bagaimana sekarang ini ?

Prasetyo dan terutama rekan-rekannya sesama buruh telah menjadi tumbal krisis, sekaligus tumbal kesombongan suatu bangsa besar yang mengaku begitu "super-power", tetapi toh masih bisa runtuh juga. Mereka juga menjadi tumbal kesombongan pemerintah negeri ini, yang begitu yakin tetap mampu berdiri tegak disaat dunia sedang "menggelepar", begitu yakin namun dibekali persenjataan dan amunisi yang begitu minim untuk menghadapi serangan musuh bernama krisis ekonomi global. Setiap kali membuka lembaran berita di surat kabar, selalu aku tertegun dan turut merasa terluka saat membaca ada begitu banyak kisah Prasetyo yang lain...kisah anak negeri ini, yang barangkali baru saja mampu berjalan dan berdiri, tetapi harus terhenti, atau bahkan terjatuh kembali.

Merekalah tumbal-tumbal krisis, yang tumbang paling awal dan yang bangkit paling akhir....

Talkshow @ Voice of Human Rights Media Online

Barangkali karena beberapa waktu lalu mengomentari Rubrik Konsultansi Hukum jaringan Radio online "Voice of Human Rights" yang mengulas mengenai pernikahan beda agama disini, hari ini saya diundang oleh pengasuh rubrik tersebut dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat untuk menjadi salah satu narasumber dalam talkshow radio tersebut, yang juga mengangkat issue terkait pernikahan beda agama dan beda kewarganegaraan. 

Tentu saja saya menyambut gembira undangan mereka, dan menjadikan kesempatan ini untuk kembali mengadvokasikan agar terjadinya perubahan cara pandang dalam melihat pernikahan beda agama. Bahwa seharusnya perbedaan agama bukan merupakan larangan perkawinan, karena hal ini menyangkut hak dasar baik laki-laki maupun perempuan yang telah cukup umur untuk dapat menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang sah secara hukum. Dan sudah seharusnya negara tidak melakukan tindakan diskriminatif dan sistematis yang mengabaikan faktor pengesahan atau pencatatan pernikahan beda agama, dan juga beda kewarganegaraan. Negara berkewajiban melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinan warga negaranya, tanpa memasuki "ranah pribadi" warga negaranya, dalam hal ini terkait agama yang dianut oleh warga negaranya. 

Dalam kesempatan talkshow hari ini, saya juga kembali mengingatkan pentingnya melakukan pencatatan status perkawinan dan memiliki akte perkawinaan yang sah dimata negara. Karena hal ini merupakan hal mendasar, bukan hanya bagi akurasi data yang dapat dipakai guna kepentingan administrasi kependudukan ataupun keperluan statistik lainnya, tetapi yang terpenting juga juga menyangkut adanya pengakuan akan kepastian hukum terhadap pasangan tersebut, melindungi hak perempuan, hak anak, dan juga warisan. 

Selain hal diatas, saya juga menegaskan kembali mengenai kesalahan persepsi yang terjadi didalam tataran masyarakat yang beranggapan bahwa Indonesia adalah negara agama. Indonesia BUKAN negara agama, karena secara konstitusi Indonesia tidak mengenal adanya agama negara. Konstitusi negeri ini mewajibkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya, sebagai tercantum dalam UUD 45 Pasal 29. Untuk itu seharusnya Pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak memiliki kewenangan untuk memilih agama-agama yang ada menjadi agama resmi, agama yang diakui, ataupun tidak diakui. Dan oleh karenanya, pemerintah juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga negaranya dikarenakan agama yang dipeluknya, atau keinginan warga negaranya untuk menikah beda agama.  

Bahkan instrumen hukum internasional telah diratifikasi Indonesia, yakni Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik pada tahun 2005. Artinya, pemerintah bertanggungjawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan hak asasi manusia yang tidak lagi sekedar bersifat nasional, tetapi internasional. 

Dan sekali lagi, menikah adalah hak asasi manusia. Termasuk pilihan untuk menikah beda agama. Bukan begitu ???? :)