March 20, 2010

Explore. Dream. Discover.

[when I discovered Manta at Penida Islands, Eastern Bali]

Twenty years from now, you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So sail away from the safe harbor, catch the trade winds in your sails, explore, dream, and discover......

[Quote from Mark Twain]

March 13, 2010

My 1st Underwater Video : Dancing with Manta



Finally... ! I can upload my first underwater video ! :D May you enjoy this one, readers ! :D

March 9, 2010

Deep Indonesia 2010, Meet Bali Marine Sports

The second combined show of DEEP and EXTREME Indonesia 2010 will be held on March, 12 – 14 , 2010 at Hall B, Jakarta Convention Center. DEEP and EXTREME Indonesia will continue to grow to be a successful combined show in this region based on Indonesia’s huge and growing market of diving, water sports, extreme sports, eco tourism and adventure travel industries.

My diving coach, Nicky Wirawan, from Bali Marine Sports, wrote on his facebook status that he has a strong belief and confidence that Deep Indonesia 2010 will take a significantly important role in the future for Indonesia in promoting and encouraging scuba diving as a fun, safe activity and as a modern life style...and I fully agreed with him, specially on the last part :D

Welcome Deep Indonesia 2010, and hope to see you [diver or potential divers ehm...]. Let's come and visit Nicky and his team at Bali Government booth ! :D

PERC: Indonesia Negara Paling Korup !

Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu bintang negara emerging markets ternyata merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Demikian hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC, Senin (8/3/2010).

Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu.

Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih.

Survei yang melibatkan 2.174 orang eksekutif tingkat menengah dan senior di Asia, Australia, dan Amerika Serikat ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Survei ini juga mencakup penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap lingkungan bisnis secara keseluruhan.

Mengenai Indonesia, lembaga yang berbasis di Hongkong menyebutkan bahwa dengan merajalelanya korupsi di semua level, perang korupsi yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah terhambat politisasi isu yang dilakukan oleh pihak yang merasa terancam oleh aksi yang dilakukan SBY.

"(Hasil) korupsi digunakan oleh para koruptor untuk melindungi mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya," sebut laporan itu.

Untuk diketahui saja, Reuters sebelumnya melihat bahwa kasus Century merupakan pertarungan antara kubu reformasi dan anti-reformasi. Reuters menilai bahwa Menkeu Sri Mulyani telah melakukan reformasi birokrasi untuk membersihkan para pejabat korup di Direktorat Pajak dan Direktorat Bea Cukai yang berada di bawah kementerian yang dia pimpin.

Menurut Reuters, dengan mengutip seorang investor AS di Indonesia, para investor sangat khawatir dengan para politisi Indonesia yang lebih tertarik untuk bertarung memperebutkan kekuasaan daripada mendukung proses reformasi.

"Kehilangan seorang reforman akan membuat investor khawatir bahwa Indonesia akan kembali ke kapitalisme kroni, yang akan sangat menyakitkan bagi para investor dan sebagian besar bangsa Indonesia, setidaknya bagi mereka yang bukan dari bagian para taipan atau secara politis berhubungan baik ataupun keduanya," ungkap investor yang enggan disebut namanya ini.

[Sumber: www.kompas.com]

March 6, 2010

Life is Beautiful


LIFE is something not to be wasted. Take changes. Love. Laugh. Enjoy it while it lasts !

March 4, 2010

Adonara, Aku Ingin Kembali

Adonara, sebuah pulau yang hanya berupa noktah hitam dalam peta Indonesia. Wilayah ini berada di Kab. Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Pulau kering dan tandus itu menyimpan banyak cerita yang hampir tak pernah terangkat di media massa, baik media cetak maupun layar kaca. Cerita tentang kebersamaan, cerita tentang perjuangan hidup, cerita yang selalu ingin membuat kita kembali.

Coklat. Aku melihat warna coklat dimana-mana. Aku mencium bau tanah kering kecoklatan, tandus, hampir tidak ada pohon rindang yang sudi berdiam diri diatasnya. Hanya jambu mede, kelapa dan ubi kayu yang bisa bertahan hidup, tumbuh di sela-sela tanah kering dan bebatuan. Debu jalan beterbangan tersapu angin ketika sebuah mobil bak terbuka lewat, menyisakan udara pekat berwarna coklat. Atap-atap rumah yang terbuat dari rumbia berwarna coklat. Perempuan-perempuan membawa air dalam ember plastik yang diletakkan di kepala berjalan tegak beriringan dengan sebelah tangannya memegang ember di kepala. Kain tenun tradisional dengan corak khas juga didominasi warna coklat hitam melilit di pinggang mereka.

Adonara, pulau yang baru kutahu namanya ketika aku berkunjung ke sana. Pulau kecil yang hanya berupa noktah hitam dalam peta Indonesia, kering dan tandus, namun selalu membuatku rindu untuk kembali. Sebuah pulau yang tak pernah kudengar namanya dalam pelajaran geografi di sekolah. Bagiku, Pulau Adonara menyimpan banyak cerita, bahkan jauh lebih berharga dari sejarah bangsa ini yang banyak direkayasa demi kepentingan segelintir penguasa.

Pulau Adonara berada di antara Pulau Flores dan Pulau Lembata. Kondisi alam yang tandus dan kering, sumberdaya alam yang kurang memadai, memaksa sebagian penduduk, terutama para lelaki untuk mencari penghidupan yang lebih baik di luar wilayahnya, bahkan ke negeri tetangga; Malaysia. Mereka meninggalkan anak dan istrinya yang bertahan hidup sendirian, bahkan terkadang meninggalkan hutang-hutang karena kepergiannya. Tak jarang mereka pergi merantau dan tak pernah kembali, entah mereka lupa akan tanah leluhurnya, lupa akan anak istrinya, bahkan banyak diantara mereka yang kawin lagi di perantauan. Kondisi tersebut menyisakan beban hidup dan kepedihan yang mendalam bagi para istri, perempuan yang ditinggalkan.

Juni tahun 2003, awal perkenalanku dengan pulau Adonara. Ketika itu aku menjadi bagian dari proses pembuatan video dokumenter tentang kisah hidup para perempuan yang terpaksa berperan sebagai kepala keluarga. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari kegiatan lokakarya pembuatan video yang dilaksanakan di Bali sebelumnya. Kami berlima menjadi satu tim produksi dengan dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Anna Har, sang sutradara, seorang perempuan yang aku kagumi, suhu utamaku, dia seorang ahli pembuat film dari Malaysia, yang juga fasilitator pelatihan. Adi Nugroho, teman kerjaku di PEKKA sebagai produser, yang bertanggungjawab terhadap jalannya pelaksanaan produksi. Yoga Atmaja, seorang lelaki Bali dari Yayasan Wisnu yang lebih banyak berperan sebagai pewawancara dan editor. Sedang aku dan seorang lagi teman dari Yayasan Nen Mas Il, Veggy Elmas namanya, berperan sebagai penata kamera.

Proses pengambilan gambar memakan waktu 4 hari terasa sangat melelahkan. Pagi-pagi buta, sebelum sang fajar menampakkan sinarnya, kami harus bangun karena dalam pembuatan film dokumenter, terutama film yang mengangkat profil seseorang haruslah mengikuti kegiatannya dari sejak orang tersebut terbangun dari tidurnya. Namun keletihan dan kelelahan fisik terbayar lunas dengan apa yang kudapat. Banyak hal yang aku pelajari dari kawan-kawan satu tim, terutama Anna. Anna mengajariku bagaimana menjadi seorang sutradara, bagaimana mengarahkan kamera agar gambar yang dihasilkan adalah gambar terbaik dan bisa digunakan untuk menyampaikan pesan. Aku berusaha menyerap sebanyak mungkin ilmu yang dimilikinya, bagaimana memilih tokoh yang bisa mendukung cerita, teknik mewawancarai yang baik yang memungkinkan narasumber yang diwawancarai bisa bercerita dengan leluasa.

"Nama saya Lucia Ola Ina, anak saya tiga orang, suami saya pergi ke Malyasia 7 tahun, tidak ada berita.”

Kalimat tersebut bisa dengan lancar diucapkan oleh Olin, sapaan akrab perempuan tersebut setelah beberapa kali kami melakukan pengulangan pertanyaan. Olin adalah salah seorang perempuan kepala keluarga yang menjadi narasumber kami, perempuan yang menanggung beban hidup, menafkahi dan membesarkan ketiga anaknya sendirian. Wajahnya yang polos dan hampir tidak ada ekspresi itu akhirnya bisa bercerita. Olin hidup dari mengurus kebun dan berjualan “papalele” hasil kebun di Pasar Senadan, pasar tradisional di Kecamatan Ile Boleng. Beban berat yang dipikulnya menyebabkan dua orang anaknya tidak bisa bersekolah. Olin tinggal di sebuah gubuk berukuran kira-kira 3 x 4 meter yang dindingnya terbuat dari bambu, hanya ada satu ruangan tanpa penyekat yang berfungsi sebagai ruang keluarga, kamar tidur, ruang tamu sekaligus dapur dengan segala perlengkapannya. Namun aku tidak melihat kesedihan di wajahnya, tak ada rasa dendam dan marah meski suaminya pergi sekian lamanya tanpa kabar dan berita, apalagi kiriman uang untuk menghidupi keluarganya.

"Harus sabar, pasrah dan berdoa,” hanya itu yang terujar dari wajah polosnya. Begitupun anak-anaknya, mereka bermain dengan riang di halaman rumah, begitu gembira.

Lain lagi halnya Anas, seorang perempuan kepala keluarga yang ditinggal kawin oleh suaminya. Dia menanggung beban seorang diri untuk menghidupi kedua anak dan ibunya yang sudah tua. Beban bertambah berat, karena Anas terikat dengan aturan adat, ketika ada anggota keluarga, kerabat atau tetangga yang meninggal, keluarganya tetap mempunyai kewajiban untuk menyerahkan 3 – 4 kain sarung tenun buatannya. Kain tenun yang per helainya diselesaikan dalam waktu 4 hari harus diserahkan kepada orang lain, tidak bisa ditawar lagi. Bukan itu saja, anaknya yang diurusnya sedari kecil, ketika sudah dewasa nanti akan menjadi milik keluarga laki-laki meskipun suaminya tidak menafkahi.

Itulah sepenggal cerita dari narasumber yang kami wawancarai. Kepedihan, kemiskinan, perjuangan hidup, ketabahan, menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Kehidupan yang sarat dengan beban mereka jalani dengan kepatuhan tanpa syarat. Aturan adat yang menempatkan perempuan pada lapisan terbawah dalam tatanan kehidupan di masyarakat, mereka jalani dengan kepasrahan tanpa pilihan, bahkan mereka tidak mampu menentukan hidupnya sendiri. Aku kagum akan kegigihan, semangat dan keikhlasan mereka menjalani hidup. Aku benar-benar merasa tidak berarti dihadapan mereka.

Salah satu isu yang akan kami angkat dalam film adalah persoalan adat yang banyak menyebabkan perempuan terpinggirkan. Salah satunya tentang budaya belis.

Perkawinan di Adonara dan Flores Timur pada umumnya, ditandai dengan pemberian belis (mahar) berupa gading gajah yang menurut logika tidak akan ditemui di daratan Adonara. Belis yang bernilai sangat tinggi yang diberikan oleh pihak laki-laki mengandung pemahaman bahwa perempuan telah dibeli dan menjadi milik keluarga atau suku dari pihak laki-laki. Ini mengakibatkan laki-laki seolah-olah bebas untuk memperlakukan istri sesuai kehendaknya.

Dan tentu saja penyebab utama dari semua permasalahan adalah budaya patriarki yang sudah mengurat mengakar, yang dipatuhi kebanyakan orang melebihi kepatuhan akan agama.

Banyak hal menarik ketika kami melakukan proses pengambilan gambar, terutama saat kami mengambil prosesi adat pernikahan. Malam kedua di Adonara, di lapangan depan balai desa banyak orang berkerumun. Hampir seluruh penduduk kampung ingin melihat kami beraksi mengambil gambar. Para perempuan duduk di samping kiri lapangan dengan berselimutkan kain tenun, berderet rapi bagai duduk di bangku bioskop menanti film diputar. Para tetua adat dan tokoh masyarakat duduk di bagian depan dengan kursi yang khusus disediakan bagi mereka. Sementara di sisi lain, para pemuda berdiri dan bercengkrama, mengepulkan asap rokok dari mulut dan hidung mereka. Bagi mereka, mungkin ini hiburan yang menyenangkan. Dengan lampu-lampu petromak sebagai alat penerang karena aliran listrik yang tak menentu. Beruntung kami bisa mempunyai cadangan baterai yang cukup untuk proses syuting. Kami disambut bak rombongan pejabat, dengan upacara adat, dengan tarian-tarian tradisional, dikalungi selendang tenun satu persatu. Mereka dengan ramah menyapa kami, terutama Anna karena dia berasal dari Malaysia. Bagi mereka, nama Malaysia begitu akrab di telinga karena banyak diantara mereka yang menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai pekerja migran di Malyasia.

Aku hampir tak percaya dengan yang kulihat saat itu, pengambilan gambar proses pernikahan yang dalam bayanganku hanya akan dihadiri sebagian orang, ternyata tidak demikian. Begitu meriah seakan itu pesta pernikahan sungguhan. Beberapa ekor kambing jantan yang besar dengan tanduk panjangnya digiring ke tengah lapangan. Gading gajah, sebagai mahar atau belis diarak beberapa orang laki-laki. Mempelai pria dan perempuan berperan bak pengantin sungguhan. Tanpa casting, tanpa skenario, tanpa naskah cerita. Dalam pesta itu, ditampilkan juga kesenian-kesenian tradisional, mulai dari tari bambu, kidung, tari perang dan banyak lagi yang tak kuingat semuanya. Para perempuan tua menari dan bernyanyi, nyanyian yang akhirnya kutahu sebagai keluh kesah para perempuan yang ditinggal suami. Pengambilan gambar prosesi pernikahan adat berlangsung dengan lancar. Hampir tengah malam kami baru pulang ke tempat penginapan. Rasa lelah mendera, namun aku puas dengan apa yang aku kerjakan hari itu.

Akhirnya proses syuting yang melelahkan usai. Kami kembali ke Bali membawa material gambar untuk dilakukan penyuntingan. Proses penyuntingan dilakukan di kantor Yayasan Wisnu di Bali dan menghabiskan waktu 3 hari. Setelah proses penyuntingan selesai dilakukan, kami memberi judul “Melawan Bayangan, Menenun Masa Depan”. Judul tersebut mengandung arti bahwa bagi siapapun yang ingin melakukan perubahan terhadap budaya, terhadap kesenjangan yang terjadi, ibarat melawan bayangan, sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan. Namun tidak ada yang tidak mungkin dilakukan, hanya perlu kesabaran dan proses yang terus menerus seperti seorang perempuan yang dengan tekun dan teliti menenun lembar demi lembar benang menjadi sehelai kain. Ketika kami menonton bersama film yang telah diedit, aku masih bisa merasakan haru, meski aku terlibat penuh dalam proses pengambilan gambar.

Adonara menyimpan banyak cerita. Adonara mengajariku banyak hal. Adonara membuatku rindu untuk kembali.

[written by Rudianto, www.pekka.or.id]