May 18, 2011

Tiga Belas Tahun Lalu

Tiga belas tahun lalu adalah saat yang amat pahit bagi bangsa Indonesia. Terutama untuk kota Jakarta .Setelah kota Jakarta dihancurkan kita semua diperhadapkan dengan masalah lain yang tak kalah peliknya: politik adu domba antar kelompok masyarakat, rasa tidak aman dan ketakutan yang terus menerus. Sekaligus kebingungan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Jelas sekali ada ada berbagai upaya rekayasa sosial yang jahat dilancarkan. Bukan hanya untuk membuat orang lupa, tapi juga membuat orang ketakutan atau berprasangka buruk tentang kelompok yang lain.

Mari kita amati kembali dengan tenang. Tragedi Kemanusiaan Mei 98 terjadi sekitar dua bulan setelah Sidang Umum MPR. Pengamanan di Jakarta saat itu lebih dari biasanya. Pemerintah melalui Mabes ABRI melakukan Operasi Mantap ABRI, yaitu pengamanan dan antisipasi penanggulangan situasi keamanan dalam negeri. Khusus untuk kota Jakarta dibentuk Operasi Mantap Jaya di bawah pangdam Jaya. Sebagai gambaran jumlah pasukan yang dapat digunakan di lapangan saat itu adalah 90 SSK (Satuan Setingkat Kompi) atau sekitar 9000 orang. Pasukan ini masih ditambah kekuatan imbangan (Polda-Polda) sebanyak 46.236 orang. Jumlah pasukan yang amat besar untuk mengamankan Jakarta.

Pada tanggal 13-15 Mei 1998 kita semua ternganga saat pasukan yang amat besar itu justru menghilang dari berbagai lokasi kerusuhan. Kalau pun mereka ada di beberapa wilayah tampak seperti membiarkan saja segala penyerangan terhadap penduduk sipil yang berlangsung di depan hidung mereka. Di depan mata semua penduduk kota Jakarta sejumlah besar massa berseragam SMA atau berpakaian lusuh atau preman melakukan penyerangan. Mereka memapunyai pembagian tugas yang amat rapi: ada yang bertugas membakar ban mobil, berteriak memprovokasi massa dengan yel reformasi atau anti Cina, membongkar rolling door, membakar kendaraan, bangunan atau manusia. Semua bergerak cepat dan jelas terkoordinir. Usai melakukan penyerangan di satu titik mereka pindah ke titik lain. Begitu seterusnya sampai Jakarta benar-benar porak poranda. Usai menjalankan operasinya, mereka serentak menghilang. Lalu kembali Jakarta ‘aman’ dengan munculnya kembali pasukan keamanan lengkap di lapangan.

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat di 80 titik lokasi ledakan di Jakarta mendapatkan fakta yang amat penting: Masyarakat setempat secara umum tidak mengenali para pelaku penyerangan di lokasi mereka. Mereka terkejut melihat massa dalam jumlah besar melakukan pembakaran dan penyerangan di mana-mana Mereka kuatir karena terjadi penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa atau wilayah mereka. Di banyak lokasi masyarakat berjaga siang malam karena isu akan ada serangan dari perusuh. Tidak jelas isu itu dari mana asalnya tapi menyebar cepat merata ke seluruh wilayah Jakarta.

Di banyak lokasi terjadi kesepakatan bahwa yang berjaga di ‘garis depan’ kampung atau perumahan adalah orang dari berbagai etnis, sedang warga yang beretnis Tionghoa diminta berjaga di belakang. Selain itu masyarakat sengaja menempelkan tulisan “milik pribumi” di bangunan-bangunan mereka dengan harapan perusuh beralih ke sasaran lainnya. Jelas bahwa sebenarnya masyarakat amat menyadari problem diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa.

Kehancuran paling parah secara umum terdapat di wilayah sentra ekonomi atau lokasi yang warganya tidak bersatu melakukan perlawanan. Di lokasi ang warganya bersatu secara umum selamat dari serangan.Sebagai contoh serangan yang ditujukan ke wilayah RW 08 Muara Karang yang mayoritas warganya adalah etnis Tionghoa justru membawa dampak yang manis bagi kehidupan warga selanjutnya. Ketua RW 08 Bapak Hauw Ming saat menyadari bahwa tidak ada harapan pertolongan atau pengamanan memutuskan menggerakan semua warga bersatu melawan. Warga yang ketakutan dan awalnya banyak tidak saling mengenal justru akhirnya bersatu dan merasakan persaudaraan yang sejati. Mereka semua selamat walaupun diserang berulangkali. Pelajaran amat berharga: tetangga atau komunitas kita harus menjadi saudara sejati kita.

Usai babak pertama Tragedi Mei 98 kembali kita mendapat serangan kedua. Bentuknya agak berbeda. Distorsi informasi dan teror. Tujuannya sepertinya untuk membuat korban dan masyarakat bungkam, kebingungan dan pasrah hidup dalam rasa takut. Pertama dengan isu-isu penyerangan atau balas dendam dari perusuh. Dilanjutkan dengan stigma buruk pada para korban. Beruntun komentar negatif kepada etnis Tionghoa yang pada pokoknya menyatakan bahwa sudah sewajarnya etnis Tionghoa menjadi korban. Gambaran bahwa semua orang etnis Tionghoa adalah orang asing, kaya raya, pelit dan eksklusif dipaksakan untuk diterima sebagai kebenaran. Gambaran ini dirangkaikan dengan stigma bahwa semua orang miskin dari etnis berbeda benci dan ingin menjarah harta benda milik etnis Tionghoa. Etnis tionghoa seperti sengaja mau dibenturkan ke etnis-etnis yang lain. Sengaja dibangun tembok agar kebencian dan prasangka tumbuh di antara kita.

Teror ditebar kepada para relawan dan para pekerja sosial. Selain teror kepada personal, peristiwa pembunuhan alm. Ita Martadinata jelas membuat hampir semua orang memilih bungkam. Juga kepada siapapun yang mau bicara tentang fakta Mei 98. Berulang kali saya bertemu dengan orang-orang yang menjadi saksi penting namun memilih bungkam. Bukan hanya orang awam. Ketakutan yang sama juga dialami oleh aparat yang terlibat di lapangan. Baik birokrat, kepolisian atau militer bersepakat untuk tutup mulut. Sebagian secara terbuka menyampaikan ketakutan mereka, sebagian menolak sama sekali untuk berkomunikasi.

Walau Tim Penyelidik ad Hoc Komnas HAM yang meminta mereka bersaksi, mereka semua sepakat menolak. Seiring dengan percaturan politik perebutan kue kekuasaan, bicara tentang Tragedi Mei pun seolah ditujukan untuk kepentingan politik menjatuhkan salah satu atau dua capres atau wakilnya. Sampai sekarang situasi sesungguhnya tetap sama. Tak seorangpun dari pelaku yang bicara tentang apa yang terjadi. Proses hukum masih macet, belum cukup kekuatan untuk mendorongnya maju.

Saat ini tahun ke tiga belas. Saya sungguh mensyukuri kebesaran TUHAN yang selalu hidup dalam sejarah dunia, termasuk Indonesia. Tiga belas tahun ternyata tidak menyurutkan semangat para relawan, korban dan masyarakat. Harapan dan semangat untuk membuat perubahan ternyata masih berkembang di mana-mana. Terutama pada anak-anak dan generasi muda. Kami bertemu dengan ribuan anak yang dengan tegas menyatakan tekad untuk menghargai sesama yang berbeda ras, etnis atau agama. Kami juga bertemu dengan banyak orang muda di seluruh Indonesia dan negara-negara lain yang masih amat bersemangat untuk berbuat sesuatu sesuai kapasitas masing-masing.

Saya yakin akan tiba saatnya kebenaran dan keadilan berdiri tegak di Indonesia. Akan ada masa di mana kita semua bisa hidup tentram tanpa rasa takut. Semua bisa kita raih asalkan kita mau bergandengan tangan, serius berjuang di bidang kita masing-masing. Jika Tuhan berkenan membuka pintu keadilan tidak akan ada seorang pun yang mampu menutupnya.

Apa yang dikerjakan arsitek jahat tragedi Mei 98 bukan tidak dapat dilawan. Setiap guru di kelas bisa mengajarkan pada semua muridnya untuk menghargai sesama, untuk menjadi manusia yang jujur dan berani. Ceritakan tentang Tragedi Mei 98. tanpa perlu menunggu pemerintah menyetujui memasukkannya dalam kurikulum pendidikan nasional. Tidak harus menjadi anggota parlemen untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Setiap ibu bisa bercerita pada anaknya, rekan sekerjanya, tetangga atau pembantu rumah tangganya tentang pelajaran dari tragedi Mei 98. Setiap pemimpin umat punya ruang yang amat luas untuk mengajar umatnya bekerja bagi bangsa sebagai pertanggungjawaban iman. Semua orang bisa berbuat sesuatu asalkan mau.***

(Disadur dari tulisan Esther Yusuf)

No comments: