Berikut adalah tulisan dari artikel buku berjudul "Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama" karya dari mas Ahmad Nurcholish yang isinya membahas seputar bagaimana membangun keluarga yang pluralis melalui pernikahan beda agama, bagaimana cara mendidik anak, dsb.
Semoga bermanfaat!
Membangun Keluarga Pluralis
1. Hadis Pluralisme
Sebelum kami sajikan kepada para
pembaca kisah-kisah nyata keindahan kehidupan agama dan spirit keberagamaan
yang dibangun keluarga nikah beda agama, sebagai pengantar penulis ingin
berbagi pemahaman sebuah teks (Hadis Rasul) bersemangat pluralisme. Pemahaman
teks ini, penulis dapatkan sewaktu
“ngilmu” kepada Prof.Dr. jalaluddin Rakhmat. Bunyi teks sebagai berikut:
”Idza mata ibnu Adam, ingqata’a amaluhu illa min salasin: Tiga (3) hal
akan tetap diterima pahalanya oleh anak-cucu Adam setelah meninggal:karya-karya
yang berkelanjutan bagi kemanusiaan, ilmu-pengetahuan yang bermanfaat dan do’a
anak-cucunya yang shalih. Pemaham Kang Jalal—begitu panggilan populernya
–terasa enak dan sejuk. Hadis itu membuka lebar-lebar bagi siapapun kesempatan
berkarya dan berdaya-guna tanpa perlu dibayangi kekuatiran tidak akan
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Panduan Rasulullah ini terasa
sangat hanif, proporsional, tidak
rasialis dan diskriminatif.
Seperti kita ketahui, dalam kesempatan
lain Rasulullah berkata, ”membuang onak berduri dan batu kerikil dari tengah
jalan akan mendapatkan pahala”. Intinya, sesuatu yang mengganggu dan
menghalangi jalan nyaman manusia mesti
disingkirkan. Begitupun sebaliknya.Sesuatu yang akan bermanfaat dan berdayaguna
bagi kemanusiaan mesti dikembangkan. Pelakunya mendapatkan pahala. Setiap kebaikan
dan membawa manfaat merupakan ”sunnah hasanah”, karya yang mulia.
Karenanya, apakah ia muslim atau non-muslim pasti berpahala dan akan
mendapatkan ganjarannya dan nikmat Allah. Bayangan dan keyakinan penulis,
karena kelak tidak ada ’locus” ketiga, selain surga dan neraka. Maka dapat dipahami,
setiap pelaku kebaikan dan membawa manfaat, muslim ataupun non-muslim akan
”melebu” surga. Sebagai contoh, kita merasakan manfaat besar penemuan listrik,
kapal laut, pesawat terbang, telepon, radio, televisi, komputer dan
internet.
Karena itu, susah memahami asumsi yang
berkembang bahwa pahala dan surga
semata-mata hanya diperuntukkan kepada orang Islam. Masak, membuang onak
berduri saja mendapatkan pahala, mana mungkin membuat teknologi canggih,
bermanfaat besar seperti di atas mubadzir dan muspro dari pahala dan
surga. Sayangnya, sampai saat ini, sebagian kaum muslim tetap menyempitkan
makna hadis di atas untuk sekadar:membuat halang-rintang di jalan-jalan umum
sambil menulis ”amal jariah” pembangunan masjid.
Hadis di atas, paling tidak dapat
menyejukkan dan menenangkan hati orang tua dan keluarga muslim yang
anak-anaknya berencana menikah dalam beda iman dan agama. Sebab, seperti sering
penulis dengar dalam konsultasi, mereka kuatir dan takut dirinya kelak bila
meninggal tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari anak-cucunya. Mereka takut
tidak ada yang akan mendo’akan keselamatan dirinya di alam kubur. Untuk
pasangan nikah beda agama sendiri, semoga Hadis di atas memberi ”oase” wawasan
untuk memperbanyak amal dan karya-karya, serta mendidik anak-anaknya agar
bermanfaat bagi kemanusiaan.
Yang terpenting, saat menyeruaknya
kekerasan, fanatisme dan radikalisme keagamaan seperti sekarang ini, pasangan
nikah beda agama dapat diharapkan menjadi lokomotif munculnya generasi
berwawasan substantif, toleran nan pluralis dalam beragama dan bermasyarakat.
Dalam banyak fakta, sejumlah pasangan beda agama telah memberikan contoh riil
bagaimana keluarga nikah beda agama mendidik anak-anak mereka berbeda dengan
kebanyakan orang tua pada umumnya. Selain
menggunakan cara atau metode yang
berbeda, pasangan nikah beda agama juga memerlukan ketekunan, ketelitian dan
kesabaran ekstra dalam mendidik anak-anak mereka agar tumbuh menjadi anak yang
tidak hanya terbiasa melihat perbedaan, tetapi sekaligus menghargainya untuk
kemudian menyakininya sebagai sebuah keniscayaan yang diberikan Yang Kuasa.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa
contoh bagaimana orang tua beda agama mendidik anak-anak mereka sehingga tumbuh
menjadi anak-anak yang toleran. Bahkan dari beberapa pasangan ini pula
anak-anak mereka juga ’mengikuti’ jejak orang tuanya untuk menikah dengan
pasangan yang beda agama pula. Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama tak
melulu bercitra atau dicitrakan negatif, melainkan menginspirasi banyak orang
untuk tidak menghindarinya. Contoh kelanggengan dan keharmonisan para orang tua
beda agama bisa saja semakin mendorong bagi anak-anak mereka untuk secara sadar
memilih pasangan yang sudah jelas diketahui beda agama. Cara hidup toleran yang
dicontohkan oleh orang tua mereka menjadi spirit tersendiri bahwa perbedaan
agama tak perlu menjadi penghalang untuk tetap meneruskan jalinan kasih asmara
hingga ke biduk pelaminan.
Bimo Nugroho (Katolik, 37 tahun) dan
Taty Apriliyana (Islam, 33 tahun) adalah pasangan nikah beda agama yang tidak mendapatkan restu dari orang tua
mereka. Namun, begitu keduanya sudah
memiliki anak, orang tua mereka nampak sigap ingin turut campur dalam menentukan
agama untuk cucu-cucu mereka. Orang tua Taty ingin cucu-cucunya didik secara
Islam. Padahal sebelumnya pasangan ini pernah dikucilkan oleh keluarga besar
masing-masing. Namun tekanan eksternal ini tak sampai mengganggu pola asuhan
agama keempat anak mereka.
Skema pendidikan anak, seperti
dituturkan GATRA, mereka capai melalui negosiasi terbuka. Maklum, keduanya
sama-sama mantan aktivis pers mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Taty menuntut untuk mendidik anaknya dengan cara Islam. Tuntunan ini bahkan sudah
diutarakannya sebelum keduanya menikah. Apalagi keluarga besar Taty di Ogan
Komering Ulu, Sumatera Selatan, memang keluarga muslim yang taat. Boleh
dikatakan, secara kebetulan Taty tengah menjalankan misi ayahnya agar mendidik
keluarga secara islam. Menyikapi tuntutan istrinya, Bimo enteng saja menerima.
Keluarganya di Semarang memang sudah biasa dengan tradisi nikah beda agama.
Menjelang pernikahan, Taty bertanya
pada Bimo, ”Dalam pernikahan Katolik, setahuku anak-anak harus dididik secara
Katolik. Betul kan?” Bimo menjawab, ”Oh, iya, jelas.” ”Aku tidak mau itu,” kata
Taty tanpa basa-basi. ”Tapi anak-anak punya hak untuk memilih agamanya. Bahkan
dia punya hak untuk tidak beragama,” jawab Bimo kemudian. ”Boleh, kan, aku
mendidik anak-anak dengan agama Islam?” kata Taty lagi. ”Aku tidak keberatan.
Dari dulu kau tahu itu, Maksudku, bila dia sudah dewasa dan mau memilih
agamanya sendiri kamu tidak berhak menentukan dia harus masuk Islam,” Bimo
menguraikan dengan sabar.
Menurut Bimo, ada tiga alasan mengapa
ia tidak keberatan anaknya dididik secara Islam oleh Taty. Pertama, ia merasa
kekatolikannya pas-pasan dibandingkan dengan keislaman Taty. ”dari pada aku
memaksakan Katolik yang ’pas-pasan’ untuk anak-anak kami, lebih afdol bila
mereka dididik Taty dengan Islam yang membebaskan,” ujarnya.
Kedua, waktu Bimo untuk anak-anaknya
jauh lebih sedikit. Ketiga, Bimo ingin membesarkan anak-anaknya yang muslim
mengenal penganut Katolik bukan dari prasangka yang dikembangbiakkan. Melainkan
langsung berinteraksi dengan penganut Katolik yang tak lain ayah mereka
sendiri.
Hampir tiap hari, Taty yang berjilbab
ini mengajarkan mengaji, salat lima waktu pada empat anaknya. Tak jarang
anak-anaknyalah yang mengajak Taty mengaji atau salat. Jika waktu subuh tiba
dan Taty masih tidur, putri sulungnya, Sumba (kini 11 tahun), justru yang
sering membangunkan Taty. Mata Taty berbinar-binar ketika menyeritakan ini.
Menurut Taty, anak-anak yang dididik
dengan wawasan keagamaan yang terbuka dan plural memiliki kelabihan. ”Mereka
bisa lebih toleran terhadap keberbedaan,” ujarnya. Setiap Natal, Taty-Bimo
mengajak anak-anak mereka pulang ke Semarang. Suatu
ketika, pernah terjadi peristiwa menyentuh tatkala Sumba masih kecil. Dengan
polosnya, Sumba bertanya, ”Boleh nggak saya masuk Katolik?” Taty balik
bertanya, ”Kenapa?” Dengan memelas, Sumba beralasan, ”Kasihan Ayah sendirian.”
Tawa lepas Bimo dan taty pun tak terbendung.
Dari kisah ini nampak bahwa dominasi
seorang ibu lebih menonjol dalam menentukan dan mendidik anak-anaknya. Hal
ini nampak pula pada keluarga Adrie Subono (Islam) dan Chrisye (Protestan). Bos
promotor Java Musikindo ini mengakui istrinya lebih mendalami agama ketimbang
dirinya. ”Chrisye sering menerapkan ajaran Kristen pada anak-anak dan membawa
mereka ke gereja,” kata Adrie kepada Eric Saman dari GATRA.
Meski demikian, Adrie menerapkan
prinsip demokrasi bagi ketiga anaknya – Melanie, Christy, dan Adrian – untuk
memilih agama. ”Pada dasarnya semua agama sama. Tidak ada yang mengajarkan
sesuatu yang buruk,” papar Adrie. Masalah agama sejauh ini tak pernah
mengganggu keharmonisan keluarganya. Kuncinya, kata Adrie, saling
menghormati dan menurunkan ego masing-masing. Makanya, mereka sepakat
menghilangkan simbol-simbol agama seperti Salib dan kaligrafi di rumah mereka di
Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun, dalam ritual agama, mereka saling
menyokong. Sudah 15 tahun ini rumahnya dipakai untuk kebaktian rutin saban
Kamis. Bila Adrie lupa salat, Chrisye serig mengingatkan. Kadang pula Chrisye
ikut puasa di bulan Ramadhan.
Pilihan agama anak mereka kebetulan
sesuai dengan jenis kelamin orangtua. Dua putrinya ikut agama ibu. Putranya
masuk Islam bersama Adrie. ”Keluarga saya ini benar-benar wujud kedamaian dalam
agama,” kata Adrie penuh syukur.
Cerita unik dari anak pasangan beda
agama dapat kita simak dalam kisah berikut. Siang itu, selepas beraktifitas di
SD Smart Eurika Cinere, Jakarta Selatan, Amadeus Inayat Khan, (kini 9 tahun) yang beragama Islam, mengajak
temannya yang Kristen bernama Bernard, 7 tahun, untuk sekedar main-main ke
rumahnya di bilangan Cinere. Bernard pun tak menolak ajakan Diyo, sapaan akrab
Amadeus.
Sesampainya di rumah, teman sekelasnya
itu nampak bimbang. Matanya bergerak-gerak menyisir satu per satu simbol
agama-agama yang terpanjang di dinding tembok rumah pasutri Wandy Nicodemus
Tuturong, Kristen (36 tahun), dan Faradiba, Islam (32 tahun). ”Tuhanku itu
Yesus. Kalau Tuhanmu kan Allah,” kata Bernard heran selepas memandangi
ornamen-ornamen di sekelilingnya. ”Ah, enggak ah. Yesus kan Tuhan saya juga,”
jawab Diyo dengan spontan. Lalu, Diyo mengadu ke ibunya. ”Mam, Tuhan Yesus itu
Tuhannya Diyo juga kan?” ”Iya,” jawab perempuan yang pernah menjadi aktivis
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ini. ”Tapi kata Bernard Tuhan Diyo koq
Allah?” tanya Diyo diselimuti keheranan. Seketika sang ibu pun menguraikan
panjang lebar untuk memecah kebingungan anak pertamanya itu.
Sekilas, bagi khalayak umum, kisah di
atas terkesan aneh. Tapi, tidak bagi pasangan Binyo dan Diba, panggilan akrab
Wandy dan Farahdiba. Lelaki yang kini aktif di National Integration Movement
(NIM) ini, sengaja memberikan pendidikan pluralisme kepada anak-anaknya sejak
dini. Di rumah, ia memperkenalkan keragaman yang dipajang di rumah melalui
asesoris simbol-simbol agama yang dipajang di rumah. Ada gambar Ka’bah, patung
Buddha, Yesus, dan lain-lain.”Secara formal, kedua anak saya memang beragama
Islam. Tapi, sejak kecil mereka saya biasakan mengenalkan simbol-simbol
agama-agama. Agar sejak dini mereka mengerti berbagai keragaman di Indonesia.
Begitu dia sudah gede, terserah dia mau memilih agama apa,” kata Binyo kepada Syir’ah.
Sedang pembelajaran di sekolah, ia
sepakat dengan gagasan istrinya yang juga sebagai ketua Persatuan Orang Tua
Murid dan Guru (POMG) di sekolah anaknya. ”Belajar agama yang baik di sekolah
adalah belajar sejarahnya bukan doktrinnnya,” tegas Binyo. Pendidikan doktrin
agama yang ia maksud adalah mempelajari ritual-ritual dalam agama, semisal
sembahyang, puasa, kebaktian, dan sebagainya.
Dengan belajar sejarah, menurut Binyo,
anak-anak akan memahami alasan mengapa agama penting bagi manusia. Kemudian,
pemahaman itu dikorelasikan dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, anak punya
kemampuan untuk menangkap nilai-nilai agama dan menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
1. Tak Perlu Doktriner
Tidak perlunya pendidikan agama secara
doktriner juga disuarakan Inggrid Pojoa, Kristen (54 tahun). Bersama suaminya,
Bambang Budi Utomo, Islam (54 tahun). Ia mengidealkan pemisahan antara
pengajaran agama vertikal, yaitu manusia dengan Tuhannya, dan horizontal,
manusia dengan manusia serta lingkungannya.
Untuk pendidikan agama secara vertikal,
urai Inggrid, yang bertugas adalah tokoh agama, seperti pendeta, kiai, biksu,
dll. Sebab mereka lebih mengerti tentang ritual agama masing-masing. Pendidikan
model ini idealnya diperoleh di luar bangku sekolah, di rumah atau di
lembaga-lembaga non-formal yang lain. Sedang secara horizontal, sebaiknya
diajarkan di sekolah. Jadi, sekolah bertugas untuk membarikan pemahaman tentang
nilai-nilai universal dari agama. ”Misalnya, setiap agama mengajarkan ’kasih’.
Lalu, bagaimana mengimplementasikan konsep kasih ini dalam kehidupan
bermasyarakat? Menurut Inggrid, ”inilah yang perlu dijarkan di sekolah,” terang
dosen Arkeologi Universitas Indonesia ini.
Mengenai agama anaknya, Ayub Tular
Kusumo Negoro yang kini berumur 21 tahun dan Islam, Inggrid punya cerita. Dulu,
menurutnya, sebelum menikah ia sudah membuat kesepakatan dengan suami, bahwa
agama anak harus ikut suami. ”Bukan berarti saya akan memaksa anak. Maksud
saya, sejak kecil anak harus punya pegangan agama. Jika nanti dia sudah besar,
tentu semua dikembalikan kepadanya. Dia mau meneruskan agama yang dipeluk sejak
kecil, atau menyakini keyakinan lain,” imbuhnya. Hal ini senada dengan Ketua
Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. ”Agama anak sebaiknya ditentukan sejak
kecil, agar bisa dikondisikan sejak dini,” katanya. Tapi, begitu dewasa
kebebasan memilih agama dikembalikan kepada anak.
Pilihan memang terbuka luas. Bagi orang
tua dapat memilih dan memilah cara terbaik untuk mendidik anak-anak mereka.
Tinggal bagaimana kita melihat pertumbuhan mereka. Penulis sendiri (AN), yang
kini sudah dikaruniai dua orang putra, ’terpaksa’ memberikan label agama
tertentu pada anak-anak kami karena hal itu menjadi keharusan administratif di
level kelurahan ketika kita mengurus Kartu Keluarga (KK). Dalam KK tersebut ada
kolom agama yang mesti diisi identitas agama anak. Tak bisa tidak. Sebab, jika
dikosongkan, sistem komputer di Kelurahan tak pernah bisa mencetak KK tersebut.
Begitulah adanya. Komputer pun harus turut campur agar setiap orang, meski
masih belum tahu agama itu apa, untuk memeluknya tanpa tahu apa makna dan
tujuannya.
Jujur, saat hendak mengurus akta
kelahiran dan KK untuk anak pertama kami, Melvin Reynard Alvino (kini 4 tahun),
kami tak ingin menulis agama apapun buat dia. Pasalnya, hemat kami, anak seusia
itu, yang baru saja lahir, belum mengerti agama itu apa. Alih-alih harus
memilih agama A atau B. Kami tak mau merampas hak anak untuk memilih sesuai
hati nuraninya, juga tak mau sok tahu memilihkan agama apa buat dirinya, seolah
itu agama yang diingininya.
Akan tetapi karena mau tidak mau kolom
agama harus diisi, dengan terpaksa kami memutuskan untuk menulis kata Kristen
untuk anak pertama kami itu. Tentu bukan maksud penulis untuk mengkristenkan
dia, melainkan agar dia mengenal perbedaan sejak usia belia. Harapan kami,
kelak jika ia beranjak dewasa, akan bertanya pada kami, ”Lho koq agama saya
Kristen, sedang papa Islam, dan mama Khonghucu.” Saat itulah kami akan
menjelaskan bahwa bukan maksud kami mengkristenkan dirinya, tetapi semata-mata
bahwa di dunia ini banyak agama sebagai jalan menuju singgasana-Nya. Jika
dewasa kelak ia tak nyaman dengan identitas agama itu sebagaimana tertulis di
KK, ia bebas memilih agama lain yang sesuai dengan pilihan nuraninya.
Begitupun ketika anak kedua kami,
Malvin Reizen Alvino (kini 3,5 tahun) lahir, kami menuliskan agama Hindu di KK.
Dalam keseharian, di rumah, kami memperkenalkan ajaran agama yang kami anut,
Islam dan Khonghucu. Ritual-ritual sederhana yang mudah ditiru kami persilahkan
anak-anak untuk mengikutinya. Misalnya salat dan kongpie (sembahyang ala Khonghucu).
Sementara jika di sekolah, putra
pertama kami saat duduk di bangku TK A kami persilahkan untuk mengikuti
pelajaran agama Kristen. Kini setelah kelas satu SD dan bersekolah di sekolah
Buddhis maka otomatis ia mengikuti pelajaran agama Buddha. Begitulah kehidupan
kami. Kerap kedua putra kami ikut pergi ke Lithang (tempat ibadah umat
Khonghucu). Tak jarang ikut pula pergi ke mesjid. Jika tiba hari raya
keagamaan, Idul Fitri misalnya, kami sama-sama pergi silaturahmi ke tetangga
dan sanak saudara. Saat Imlek tiba kami juga turut merayakannya dengan berkunjung ke sanak
saudara. Giliran Natal, kamipun mengantar anak-anak kami untuk merayakannya di
gereja dekat rumah.
Dengan cara itu kami ingin anak-anak
kami kelak tumbuh menjadi anak yang tidak alergi dengan perbedaan, agama
sekalipun. Kami juga berharap, dengan cara seperti itu akan tumbuh sikap
toleran, bisa menghargai agama orang lain yang berbeda, dan yang lebih penting
adalah tak pernah mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar dan kemudian
menganggap salah atau sesat agama orang lain. Kami ingin anak-anak kami tumbuh
menjadi anak-anak yang terbuka, tidak picik pandangan, dan senantiasa
menghargai setiap perbedaan yang mereka jumpai di sekelilingnya. Dengan begitu
mereka akan tumbuh menjadi generasi yang toleran nan pluralis.
Apakah itu sebuah impian yang muluk?
Menurut kami sama sekali tidak. Lihat saja kisah di bawah ini. Dari pasangan
orang tua beda agama tumbuh anak-anak yang toleran. Bahkan dari
mereka mengikuti jejak orang tuanya
menikah dengan pasangan yang berbeda agama.
Nadin Asmarandjani, kini berusia 29
tahun. Perempuan tinggi semampai ini adalah buah cinta nikah beda agama. Ayahnya
Djani yang berdarah betawi beragama islam, sementara ibunya Conny beragama
Kristen. Si ibu berdarah Manado-Timor.
Djani-Conny menikah pada 1978.
Untunglah pernikahan mereka masih bisa dilakukan di kantor Catatan sipil. Sebab
pada tahun itu, belum ada UU yang melarang pernikahan beda agama. UU Pernikahan
tentang tidak bolehnya nikah beda agama baru disahkan pada tahun berikutnya,
1979.
Ada semacam komitmen yang dibangun
kedua orang tua Nadin, Djani-Conny. Dari hasil pernikahan yang mereka bina
selama ini terhadap agama yang dianut buah dari keturunannya. Untuk perempuan
menganut agama ibu, dan laki-laki menganut agama bapaknya. Meski
demikian tak ada paksaan jika anak laki-lakinya kemudian menganut Kristen,
begitupun sebaliknya.
Jadi sebenarnya keputusan beragama, itu
diputuskan oleh si anak ketika berusia 17 tahun. Di usia itulah Nadin sudah
dihadapkan pada pilihan dan sudah dapat memutuskan agama mana yang akan
ditekuni kemudian. Dan Kristen menjadi pilihan hidupnya. ”Kami tidak pernah
melihat orang tua ribut karena perbedaan agama,” aku Nadin kepada Syir’ah dua
tahun lalu.Nindia, adik Nadin, juga mengakui tak pernah melihat kedua orang tuanya ribut
soal agama.
Baik Nadin maupun Nindia, keduanya
mengenyam pendidikan di sekolah Kristen. Mereka pun rajin pergi ke gereja tiap
hari Minggu. Meski demikian, Nadin secara informal kerap berdiskusi seputar
nabi, Tuhan, dan Islam. ”Hal itulah yang kita bicarakan sehari-hari, terutama
saat perjalanan ke sekolah saat papa antar,” ungkap Nadin polos.
Pengalaman serupa diungkapkan Rari.
Perempuan bernama lengkap Inggita Adya rari ini lahir di Jakarta pada 9
September 1977. jika Nadin dididik secara Kristen, Rari mengaku sejak kecil
dididik secara Islam oleh ayahnya, Edi Subijanto. Rari hasil pernikahan beda
agama sama seperti Nadin, bapak Islam dan ibu, Anastasi Indah Sri Rahayum,
beragama Kristen.
Anehnya, meski Rari seorang muslimah,
pendidikan formalnya adalah sekolah Katolik. Di rumah
saya belajar Islam, di sekolah saya tidak belajar agama tertentu,” ungkap Rari.
Meski belajar formal sekolah Katolik, Rari mengaku tidak mendapatkan pelajaran
agama Katolik secara langsung. Sebab, di sekolah itu, kata Rari, hanya
diajarkan etika oleh seorang yang ahli di bidang filsafat. ”Yang diajar seputar
etika dan perbuatan baik secara umum. Mata pelajaran ini hanya diikuti oleh
siswa non-Katolik,” tutur Rari lagi.
Semula, Rari kerap diingatkan oleh
orang-orang bahwa sekolah di Katolik pasti akan di-Kristenkan. Kalau pergolakan
batin, Rari memang kerap merasakan, terutama saat duduk di bangku SMA. Pernah
suatu ketika, Rari ingin dibabtis oleh seorang pastor di sekolah itu. Ada
alasan yang membuat batin Rari bergolak, hingga berniat ingin dibabtis. Itu
karena, ia melihat fenomena belakangan, pada 1992-an, Islam identik dengan
kekerasan. ”Bagi saya itu adalah wajah Islam yang sangat menakutkan,” kenang
Rari seperti dikutip Syir’ah.
Pergolakan batin Rari makin karuan
ketika sering melihat ibunya yang Katolik terus dihantui teror. Teror ini
didapatkan ketika ibunya hendak ke gereja. Yang lebih parah, soal labelisasi
terhadap dirinya. Rari mendapat julukan si anak orang kafir. Terus,
ia juga melihat gunjingan dari orang Islam ketika ada temannya pindah agama ke Kristen.
Nampak begitu berat cobaan yang
dihadapi oleh keluarga Rari. Selain siksaan seperti itu, umat Nasrani juga
sering dipersulit dalam mengurus izin dan prosedur pendirian tempat ibadahnya.
”Saya menyaksikan susahnya bukan main,” ujarnya. Terus terang, hal-hal itulah
yang membuat Rari trauma hingga batinnya terus bergolak. Ujungnya, ia
berkeinginan untuk dibabtis oleh seorang partor.
Anehnya, ketika Rari ingin dibabtis,
sang Partor alias Romo malah memberikan penjelasan tentang Islam. ”Islam adalah
agama yang baik, damai dan cinta. Selain itu, Islam juga agama perdamaian,
toleransi, dan anti kekerasan,:” ungkap Rari menirukan Romo yang diminta
membabtisnya itu. Selain pastor, Romo itu juga merupakan guru BP (Bimbingan
Penyuluhan) – kini bimbingan konseling.
Terakhir, Romo itu mengatakan, tidak
ada agama yang mengajarkan keburukan dan kejelekan. Kalaupun ditemukan, itu
bukan agamanya tapi manusianya. ”Justru saya banyak belajar tentang Islam dari
Romo,” ungkap perempuan yang bekerja sebagai Dosen Tidak Tetap di STBA LIA.
Rari menikah pada Januari 2005 silam dengan Dwi Haryanto Sapto Nugraha, yang
juga seorang Muslim.
Dari kisah Rari ini banyak hikmah dan
pelajaran yang bisa kita petik. Pertama, perbedaan agama diantara orang tuanya
yang harus menjadi sumber petaka. Justru nilai-nilai toleransi, saling
menghargai, bahkan saling membantu dan mengingatkan dalam banyak hal terkait
agama masing-masing dapat berjalan dengan baik. Ayahnya yang muslim dapat
mengingatkan ibunya kala lupa pergi ke gereja dan mengantarkannya untuk kebaktian. Sebaliknya,
sang ibu tanpa rasa canggung mengingatkan sang ayah jika tiba waktunya salat.
Jika Ramadhan tiba pun dengan penuh kesadaran menyiapkan makan sahur serta
menemani sahur bersama anak-anak mereka. Bukankah ini sebuah kehidupan yang
senantiasa merealisasikan nilai luhur dari agama apapun yang tak semua orang,
keluarga dapat merealisasikannya?.
Kedua, perbedaan agama diantara kedua
orang tua Rari juga sama sekali tak menghalanginya untuk memilih agama yang
dikehendakinya. Ini karena kedua orang tua mereka sangat toleran untuk memberi
kebebasan kepada nak-anak mereka untuk memilih agama sesuai pilihan hati
nuraninya. Orang tua sama sekali tak pernah melakukan tarik ulur agar anak-anak
mereka mengikuti agama yang dianut sang ayah atau sang ibu. Hal inilah yang
membuat anak-anak mereka merasa nyaman-nyaman saja untuk beragama, tanpa rasa
pekewuh dengan kedua orang tuanya. Justru yang kerap membuat tidak nyaman,
bahkan tertekan sehingga mendatangkan trauma berkepanjangan sebagaimana dialami
Rari adalah orang-orang di luar rumah tngga mereka. Bisa dari tetangga, sanak
saudara, dan masyarakat sekitar pada umumnya.
Ketiga, kekukuhan dalam beriman tak
selamanya datang dari orang yang sama agamanya dengan diri kita. Dalam kisah
Rari, disaat ia mengalami krisis identitas ke-Islamannya dan memutuskan untuk
hijrah ke Katolik, justru sang Romo malah memberikan kekuatan untuk tetap
berislam. Sang Romo sama sekali tak menggunakan aji mumpung untuk
menggaet umat lain untuk memasuki agamanya. Bagi Rari dan juga mungkin kita
juga, sikap yang ditunjukkan oleh sang Romo itu justru akan memunculkan citra
yang positif baik bagi Romonya sendiri, juga bagi agama Katolik pada umumnya.
Nah, bukankah andai saja kita, semua umat beragama memiliki perilaku sebagai
yang dicontohkan sang Romo itu, kehidupan beragama kita tak akan pernah ada
saling curiga, prasangka satu dengan yang lainnya yang kerap menghantarkan kita
pada perselisihan panjang, bahkan pertikaian dan perang yang banyak memakan
korban.
Menikah beda agama tentu ada
’keuntungan’ dan ’kerugian’-nya. Keuntunganya, bisa disaksikan dari penjelasan
Nadin. Ia tinggal di lingkungan ayahnya yang kental dengan tradisi Betawi.
Menurut Nadin, orang Betawi di lingkungan tempat tinggalnya, Utan Kayu, Jakarta
Timur, sudah terbiasa dengan adanya perbedaan termasuk soal agama.
Perbedaan agama, sebagai dikupas Syir’ah,
bukan hal yang asing bagi lingkungan mereka, sehingga mereka tidak merasa
risih, ribet dan bahkan tidak setajam sekarang ketika memandang perbedaan
agama. ”Saya tidak pernah berada di lingkungan saya tertekan. Kondisi
lingkungan saya sangat terbuka bagi saya dan keluarga,” aku perempuan lulusan
Fakultas Tehnik Jurusan Arsitek Universitas Indonesia.
Nadin juga merasa tak asing dengan
aktivitas keislaman. Ketika ayahnya menjalankan salat lima waktu sehari dan
aktivitas teman-teman muslimnya. Seperti lebaran, puasa Ramadhan, sampai
melayat orang meninggal. Nadin berpendapat bahwa yang berbeda adalah cara
beribadahnya saja. Kalau orang Islam salat, sedang orang Kristen dengan melipat
tangan menggunakan jari.
Meski perbedaan itu kemudian dimaknai
sebagai keindahan oleh Nadin, tapi tetap saja rasa sedih menghinggapinya.
Misalnya ketika Natal tiba. Keluarga Nadin selalu tak lengkap. Begitupun ketika
lebaran Islam. Tapi kesedihan itu tak jadi soal bagi Nadin. Toh, pada
kenyataannya, pada waktu silaturrahmi tetap saja dilakukan secara bersamaan. Baik
saat natalan maupun lebaran (Idul Fitri). Begitupun ketika Ramadhan tiba. Sang
ibu selalu menyiapkan makan sahur. ”Sahur bareng samoai buka puasa. Tradisi
yang kami jalani sejak kecil,” terang Nadin seraya menjelaskan puasanya untuk
kesehatan dan melatih emosi. Begitu sebaliknya yang dilakjukan sang ayah. Ayah
Nadin selalu menyiapkan hiasan pohon Natal. Malah, ayah Nadin selalu
mengantarkan ibu dan anak-anaknya (Nadin dan Nindiya) pergi ke gereja.
2.
Mengikuti Jejak Orang Tua
Beda agama bukan persoalan di keluarga
Nadin. Itulah sebabnya barangkali yang membuanya tak menjadi penghalang ketika
harus menikah dengan pasangan yang berbeda agama dengan dirinya. Tentang
pernikahannya dengan lelaki yang beda agama dengannya, menurut Nadin, kunci
sebelum melakukan proses pernikahan adalah adanya keterusterangan. Jujur dan
terbuka dengan pasangan, keluarga pasangan, dan pihak yang menikahkan terkait
identitas agamanya. Sehingga perpindahan agama pura-pura dan masuk suatu agama
tanpa dikehendaki tidak perlu terjadi.
Hal itulah yang dilakukan orang tua
Nadin. Juga Nadin dan suaminya, Tajid Yakub, sejak pacaran sudah membicarakan
identitas agama dan rencana ke jenjang pernikahan sampai urusan anak. Bagi
Nadin hal itu tak lagi menjadi masalah karena ia sejak belia sudah berlatar
belakang plural. ”Kami menyadari betul kondisi lingkungan yang berbeda dan kami
juga mencari cara. Kami sama-sama punya keyakinan yang sama, yakni ingin hidup
di jalan yang benar, tidak mau menyusahkan orang lain, jujur, bahkan turut
mengembangkan bangsa ini tetapi dengan agama yang berbeda. Namun kami berdua
percaya bahwa tidak mungkin ada banyak Tuhan. Tuhannya mungkin satu, yang
berbeda cara beribadahnya saja. Terlalu dahsyat dan mengerikan kehidupan ini
dan resikonya bila dikotak-kotakkan ke dalam agama,” terangnya.
Pernikahan Nadin menggunakan penghulu
Islam dan mendapat surat nikah. Kemudian melakukan pemberkatan di gereja yang
diteruskan ke catatan sipil. Tanpa pindah agama pernikahan dan pencatatan
itupun berhasil dilalui. ”yang penting bagi saya bahwa pernikahan kami legal
secara hukum dan mendapat surat-surat negara. Lebih penting lagi Tuhan tahu,
keluarga merestui dan teman-teman juga tahu. Masalah omongan orang lain,
sah-sah saja berpendapat dan saya hargai. Tetapi saya punya pilihan sendiri
yang harus saya jalani,” tuturnya menegaskan.
Tak jauh beda dengan orang tua Nadin,
kehidupan Nadin dan suaminya dalam beragama selayaknya pasangan lain yang
saling mengingatkan. Ia mengingatkan salat untuk suaminya dan sebaliknya,
suaminya kerap mengingatkan dirinya untuk tidak lupa pergi ke gereja. ”Melihat
dia salat malam sudah cukup menenangkan saya,” ungkap ibu dari Kayla Ananta
Yakub.
Kesepakatan di antara mereka juga
terjadi, hanya saja mereka bersepakat bahwa anaknya kelak tidak dididik secara
”fanatik” pada suatu agama tertentu, baik agama ayah atau ibu. ”Dengan fanatik
akan menyempitkan pemikirannya, tidak berkembang, tidak bisa mencintai dan
menghargai dan menolong sebagaimana Tuhan minta,” imbuh istri yang berprofesi sebagai
interior designer ini.
Menurut Nadin, biasanya masalah yang
timbul dari pernikahan beda agama bukanlah masalah agama, bahkan masalah yang
muncul sama dengan keluarga seagama, seperti masalah sosial atau masalah
keuangan. Keberlangsungan pasangan orang tuanya membesarkan mereka, menurut
Nadin karena ada kasih di antara mereka dan adanya kesabaran, ketekunan dan
keikhlasan dalam menjalaninya. Itulah pelajaran yang dia ambil.
Menilik kembali perjalanan hidupnya
hingga kini, perempuan yang hobi outbond dan nari tradisional ini
mengaku merasa nyaman berada di tengah lingkungan Islam, baik dalam keluarga
maupun pertemanan.
Kenyamanan sebagaimana dialami Nadin
juga dirasakan Adinda, 27 tahun, beragama Katolik, anak dari pasangan orang tua
berbeda agama. Ayahnya, Dito Pratomo, 53 tahun, Katolik yang menikahi ibu
Adinda, Rahma, muslimah yang kini berusia 49 tahun. Kedua orang tua Adinda ini
menikah secara berbeda agama 27 tahun silam. Dari hasil pernikahan mereka
lahirlah Adinda yang kemudian memantapkan diri memeluk Katolik.
Dalam keluarga, sebagaimana dipaparkan
kepada penulis (AN) Adinda diberi kebebasan untuk memilih agama apa. Islam
dipersilahkan, Katolikpun tak ada masalah. Orang tuanya telah memberikan contoh
bagaimana bertoleransi dengan pasangan yang berbeda agama. Tak sekedar itu,
seperti juga pengalaman Nadin dan Rari, orang tua Adinda juga saling membantu
untuk mempersiapkan kebutuhan ibadah masing-masing. Misalnya, ketika Ramadhan
tiba, sang ayah, Pratomo, sering membangunkan ibunya untuk makan sahur.
Perlengkapan ibadah seperti mukena, kerudung dan sajadah pun dibelikan khsusus
oleh sang ayah yang juga aktif menjadi pengurus Paroki di Surabaya. Sebaliknya,
ibu Adinda juga sigap menyiapkan perlengkapan Natal saat perayaan itu tiba.
Dari membeli pohon Natal dan menghiasinya dengan pernik lampu warna-warni
hingga menyiapkan hidangan khas Natal kesukaaan keluarga.
Contoh keharmonisan pasangan Pratomo
dan Rahma inilah barangkali yang tidak menghalanginya untuk menikah dengan
laki-laki pujaan hatinya Arief, 30 tahun, penganut Islam yang sudah dikenalnya
sejak enam tahun silam. Meski awalnya agak rumit untuk mendapatkan restu dari
orang tua Arief, namun akhirnya keduanya dapat melangsungkan pernikahan pada Maret
2007 lalu. Pernikahan keduanya menggunakan cara Islam dengan akad nikah dan
pemberkatan gereja untuk prosesi Katoliknya.
Dalam mengarungi kehidupan pernikahan,
keduanya banyak menyontoh apa yang sudah dipraktikkan orang tua Adinda. ”Saya
diberi kebebasan untuk memeluk agama apa saja. Kalau akhirnya saya menganut
Katolik bukan berarti saya menganggap Islam itu kurang sempurna. Bahkan saya
kerap menemani ibu puasa ketika Ramadhan tiba,” ungkapnya pada penulis. Dalam
kerseharian pun sikap toleransi tak sulit untuk ia jalankan. Arief, suami
Adinda yang berprofesi sebagai pekerja kontraktor real estat kerap harus pulang
larut malam. Jika begitu ia sering bangun kesiangan. ”Karenanya saya yang harus
rajin membangunkannya untuk salat subuh,” aku Adinda bangga. Untuk pergi ke
gereja Arief memang jarang mengantarkannya. Sebab, meski hari Minggu, kata
Adinda, suaminya itu kerap harus masuk kerja. Gantinya, saat pulang gerejalah
sang suami menjemputnya untuk pulang sama-sama.
Selain Adinda dan Arief, pasangan Andi,
32 tahun, penganut Kristen dan Putri, 27 tahun, muslimah, juga berlatar
belakang orang tua beda agama. Andi
merupakan anak laki-laki ketiga dari pasangan
Hariyanti, penganut Islam yang menikah dengan Bonar Tampubolon yang
beragama Kristen. Empat puluh tahun lebih pasangan ini telah mempraktikkan
keluarga beda agama tanpa hambatan yang berarti. Bahkan kelima putra mereka berbeda-beda
pula agamanya. Dua kakak Andi satu
adiknya memeluk Islam sebagai agamanya. Sedang satu adiknya lagi memeluk
Kristen sebagaimana yang dia anut.
Saat Andi dan Putri menikah di
Denpasar, Bali, Juli 2007 lalu, kedua keluarga besar dari Andi dan Putri turut
hadir memberikan restu kepada keduanya. Perbedaan agama tak menghalangi mereka
untuk mempertemukan anak-anak mereka untuk duduk di pelaminan. Orangtua Putri
yang berlatar belakang tradisi Jawa juga tak canggung menyaksikan anaknya
menikah dengan cara Islam melalui akad nikah sekaligus pemberkatan gereja ala
Kristen. Kini, pasangan yang sebelumnya memang bertemu di Pulau Dewata ini
telah dikaruniai seorang putra berusia enam bulan.
Menurut penuturan keduanya, kehidupan
mereka semakin bahagia. Apalagi setelah hadir si buah hati hasil cinta kasih
mereka. Perbedaan agama sama sekali tak menghalangi mereka untuk mewujudkan
keharmonisan dalam keluarga. ”Kami ingin anak-cucu kami kelak lahir sebagai
generasi toleran dan pluralis agar bangsa ini memiliki generasi yang menjaga
kebhinekaan dan menghargainya sebagai titipan Tuhan,” harap Andi serius.
Harapan Andi dan Putri mungkin
terdengar muluk. Tetapi bukan tidak mungkin harapan untuk melahirkan generasi
pluralis justru akan lahir dari pasangan-pasangan beda agama ini. Dari ruang
keluarga mereka sudah menanamkan nilai-nilai kemajemukan dan sikap toleransi kepada anak-anak mereka sejak usia
dini. Diharapkan dari merekalah kelak, sebagaimana pengalaman Andin, Rari, dan
Andi, kehidupan harmoni dalam bingkai kebhinekaan dapat diwujudkan.
3.
Anak Saleh
Sebagai penutup, anak memang merupakan
amanah Tuhan yang harus diasuh, dididik, dan dibimbing menjadi anak yang salih
dan salihah (dalam kerangka Islam). Anak salih, menurut Imam Nakhai, adalah anak yang memiliki skill, pengetahuan,
dan moralitas sehingga mampu menjalali hidup yang akan ditempuh.
Dalam literatur hadits dinyatakan bahwa
pendidikan yang paling utama bagi anak adalah budi pekerti, sopan santun,
moralitas dan keterampilan-keterampilan hidup sesuai dengan zamannya. Lihatlah
hadits Nabi yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Abu Nafi: ”Kewajiban orang tua
terhadap anak-anaknya ialah mengajarkannya menulis, berenang dan amanah, dan
janganlah anak itu diberi selain rizqi yang halal.”
Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas, Nabi bersabda: ”Dekatlah kamu pada anak-anak dan perbaikilah budi
pekerti mereka.” al-Qur’an juga menganjurkan dengan tegas agar orang tua
memperlakukan anak-anak dengan kata-kata yang baik (qaulun syadidan)
agar anak tidak lemah di kemudian hari. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang
tua mengajarkan anak-anaknya untuk pandai bersyukur kepada Tuhan dan juga
kepada kedua orang tua yang telah melahirkannya.
Pendekatan pendidikan seperti inilah,
menurut Imam Nakhai, yang mesti diberikan pada anak-anak yang dilahirkan dari
rahim muslim dan non-muslim. Soal akan beragama apa nanti biarlah anak sendiri
yang menentukan setelah mereka memiliki bekal cukup tentang nilai-nilai
kebenaran universal agama. Pendidikan yang memaksakan anak anak harus mengikuti
agama ayah atau agama ibu dalam konteks seperti ini hanya akan membuat rumah
tangga seperti pasar yang penuh persaingan dan bukan seperti surga yang penuh
dengan pengertian dan kedamaian.
Dengan demikian, pendidikan anak dari
pernikahan beda agama yang diabsahkan seyogyanya tidak menyentuh soal-soal
ibadah partikular yang rawan perbedaan. Melainkan pendidikan yang berkaitan
dengan nilai-nilai etika moral yang dimiliki seluruh ajaran agama. Inilah isyaratu
an-nash petunjuk nash, dari ayat ”Dan dihalalkan bagi kalian menikahi ahl
al-kitab yang menjaga kehormatan dirinya” [QS. Al-Maidah:5].
Secara isyaratu an-nash, menurut
Imam Nakhai, ketika Allah memperkenalkan pernikahan muslim dan ahl al-kitab
maka segala konsekuensinya termasuk pendidikan dan keberagamaan anak haruslah
dibicarakan dan disepakati kedua belah pihak, istri dan suami. Tidak boleh ada
pemaksaan dari salah satunya.
Dalam sebuah hadits, dikisahkan bahwa
Nabi Muhammad saw pernah memberikan pemilihan terhadap seorang anak apakah ia
akan mengikuti ayahnya yang muslim atau ibunya yang musyrikah. Ternyata anak
tersebut lebih cenderung memilih ibu. Hadits inilah yang dijadikan dasar oleh
ulama madzhab Hanafi dan Maliki bahwa hadinah (ibu yang akan merawat,
mendidik anak, dan membesarkannya) boleh seorang non-muslim baik ahl
al-kitab atau tidak, baik ibu atau perempuan lain.
Seorang anak, tutur hanafiyah, tetap ia
berada dalam perawatan ibu sampai, pertama, dia memahami agama-agama sampai
dengan setelah memasuki usia tujuh tahun misalnya. Kedua, jika anak tersebut
tetap berada dalam naungan ibu yang musyrikah maka keberagamaannya
dikhawatirkan. Seperti sang ibu mulai mengajarkan doktrin-doktrin agamanya,
atau memaksa pergi ke tempat ibadah sang ibu. Atau anak
mulai dibiasakan mengkonsumsi minuman keras dan daging babi.
Ketika ibu yang musyrikah mulai
mengajarkan hal-hal di atas maka hak asuh anak dan didik anak dapat dicabut
dari tangannya. Mafhumnya, jika ibu tidak mengajarkan doktrin-doktrin agama
yang bersifat partikular, melainkan mengajarkan nilai-nilai etika moral dan
kebenaran universal, maka ibu musyrikah tetap memiliki hak asuh.
Al-hasil pendidikan anak yang lahir
dari pernikahan beda agama adalah harus lebih diorientasikan pada pengenalan
akan kebenaran dzat sang pencipta, dan ajaran-ajaran universal. Bukan pada
pernak-pernik agama yang rawan perbedaan dan perpecahan. Namun demikian, bukan
berarti hal itu terlarang mutlak. Jika kita, sebagai orang tua sudah melihat
secara psikologis anak bahwa hal itu perlu, dapat pula mulai diperkenalkan pada
anak-anak kita. Tetapi jauh lebih penting dari itu, sekali lagi adalah lebih
mengutamakan pada nilai-nilai moral, etika dan kebenaran universal.
Dengan demikian harapan untuk
melahirkan generasi pluralis dari ruang keluarga beda agama bukan sesuatu yang
tak mungkin. Beberapa pasangan yang diceritakan di atas telah memberikan contoh
yang apik. Sekarang giliran kita, yang juga pasangan beda agama, untuk
mengikuti jejak mereka, atau paling tidak terinspirasi dari kisah-kisah mereka
untuk mempraktikkan hal serupa. Maka, lima, sepuluh, atau dua puluh tahun yang
akan datang, negeri ini akan terwarnai oleh generasi pluralis yang toleran
sehingga upaya untuk mempertahankan
Indonesia yang plural, tetap utuh, damai nir-kekerasan menjadi
keniscayaan. Wallahu a’lam.