February 17, 2012

Membangun Keluarga Pluralis

Berikut adalah tulisan dari artikel buku berjudul "Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama" karya dari mas Ahmad Nurcholish yang isinya membahas seputar bagaimana membangun keluarga yang pluralis melalui pernikahan beda agama, bagaimana cara mendidik anak, dsb. 

Semoga bermanfaat!

Membangun Keluarga Pluralis

1. Hadis Pluralisme
Sebelum kami sajikan kepada para pembaca kisah-kisah nyata keindahan kehidupan agama dan spirit keberagamaan yang dibangun keluarga nikah beda agama, sebagai pengantar penulis ingin berbagi pemahaman sebuah teks (Hadis Rasul) bersemangat pluralisme. Pemahaman teks ini, penulis dapatkan sewaktu  “ngilmu” kepada Prof.Dr. jalaluddin Rakhmat. Bunyi teks sebagai berikut: ”Idza mata ibnu Adam, ingqata’a amaluhu illa min salasin: Tiga (3) hal akan tetap diterima pahalanya oleh anak-cucu Adam setelah meninggal:karya-karya yang berkelanjutan bagi kemanusiaan, ilmu-pengetahuan yang bermanfaat dan do’a anak-cucunya yang shalih. Pemaham Kang Jalal—begitu panggilan populernya –terasa enak dan sejuk. Hadis itu membuka lebar-lebar bagi siapapun kesempatan berkarya dan berdaya-guna tanpa perlu dibayangi kekuatiran tidak akan memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Panduan Rasulullah ini terasa sangat  hanif, proporsional, tidak rasialis dan diskriminatif.
Seperti kita ketahui, dalam kesempatan lain Rasulullah berkata, ”membuang onak berduri dan batu kerikil dari tengah jalan akan mendapatkan pahala”. Intinya, sesuatu yang mengganggu dan menghalangi jalan nyaman  manusia mesti disingkirkan. Begitupun sebaliknya.Sesuatu yang akan bermanfaat dan berdayaguna bagi kemanusiaan mesti dikembangkan. Pelakunya mendapatkan pahala. Setiap kebaikan dan membawa manfaat merupakan ”sunnah hasanah”, karya yang mulia. Karenanya, apakah ia muslim atau non-muslim pasti berpahala dan akan mendapatkan ganjarannya dan nikmat Allah. Bayangan dan keyakinan penulis, karena kelak tidak ada ’locus” ketiga, selain surga dan neraka. Maka dapat dipahami, setiap pelaku kebaikan dan membawa manfaat, muslim ataupun non-muslim akan ”melebu” surga. Sebagai contoh, kita merasakan manfaat besar penemuan listrik, kapal laut, pesawat terbang, telepon, radio, televisi, komputer  dan  internet.
Karena itu, susah memahami asumsi yang berkembang  bahwa pahala dan surga semata-mata hanya diperuntukkan kepada orang Islam. Masak, membuang onak berduri saja mendapatkan pahala, mana mungkin membuat teknologi canggih, bermanfaat besar seperti di atas mubadzir dan muspro dari pahala dan surga. Sayangnya, sampai saat ini, sebagian kaum muslim tetap menyempitkan makna hadis di atas untuk sekadar:membuat halang-rintang di jalan-jalan umum sambil menulis ”amal jariah” pembangunan masjid.           
Hadis di atas, paling tidak dapat menyejukkan dan menenangkan hati orang tua dan keluarga muslim yang anak-anaknya berencana menikah dalam beda iman dan agama. Sebab, seperti sering penulis dengar dalam konsultasi, mereka kuatir dan takut dirinya kelak bila meninggal tidak akan memperoleh manfaat apa-apa dari anak-cucunya. Mereka takut tidak ada yang akan mendo’akan keselamatan dirinya di alam kubur. Untuk pasangan nikah beda agama sendiri, semoga Hadis di atas memberi ”oase” wawasan untuk memperbanyak amal dan karya-karya, serta mendidik anak-anaknya agar bermanfaat bagi kemanusiaan. 
Yang terpenting, saat menyeruaknya kekerasan, fanatisme dan radikalisme keagamaan seperti sekarang ini, pasangan nikah beda agama dapat diharapkan menjadi lokomotif munculnya generasi berwawasan substantif, toleran nan pluralis dalam beragama dan bermasyarakat. Dalam banyak fakta, sejumlah pasangan beda agama telah memberikan contoh riil bagaimana keluarga nikah beda agama mendidik anak-anak mereka berbeda dengan kebanyakan orang tua pada umumnya. Selain  menggunakan cara atau metode  yang berbeda, pasangan nikah beda agama juga memerlukan ketekunan, ketelitian dan kesabaran ekstra dalam mendidik anak-anak mereka agar tumbuh menjadi anak yang tidak hanya terbiasa melihat perbedaan, tetapi sekaligus menghargainya untuk kemudian menyakininya sebagai sebuah keniscayaan yang diberikan Yang Kuasa.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh bagaimana orang tua beda agama mendidik anak-anak mereka sehingga tumbuh menjadi anak-anak yang toleran. Bahkan dari beberapa pasangan ini pula anak-anak mereka juga ’mengikuti’ jejak orang tuanya untuk menikah dengan pasangan yang beda agama pula. Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama tak melulu bercitra atau dicitrakan negatif, melainkan menginspirasi banyak orang untuk tidak menghindarinya. Contoh kelanggengan dan keharmonisan para orang tua beda agama bisa saja semakin mendorong bagi anak-anak mereka untuk secara sadar memilih pasangan yang sudah jelas diketahui beda agama. Cara hidup toleran yang dicontohkan oleh orang tua mereka menjadi spirit tersendiri bahwa perbedaan agama tak perlu menjadi penghalang untuk tetap meneruskan jalinan kasih asmara hingga ke biduk pelaminan.
Bimo Nugroho (Katolik, 37 tahun) dan Taty Apriliyana (Islam, 33 tahun) adalah pasangan nikah beda agama yang  tidak mendapatkan restu dari orang tua mereka. Namun,  begitu keduanya sudah memiliki anak, orang tua mereka nampak sigap ingin turut campur dalam menentukan agama untuk cucu-cucu mereka. Orang tua Taty ingin cucu-cucunya didik secara Islam. Padahal sebelumnya pasangan ini pernah dikucilkan oleh keluarga besar masing-masing. Namun tekanan eksternal ini tak sampai mengganggu pola asuhan agama keempat anak mereka.
Skema pendidikan anak, seperti dituturkan GATRA, mereka capai melalui negosiasi terbuka. Maklum, keduanya sama-sama mantan aktivis pers mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Taty menuntut untuk mendidik anaknya dengan cara Islam. Tuntunan ini bahkan sudah diutarakannya sebelum keduanya menikah. Apalagi keluarga besar Taty di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, memang keluarga muslim yang taat. Boleh dikatakan, secara kebetulan Taty tengah menjalankan misi ayahnya agar mendidik keluarga secara islam. Menyikapi tuntutan istrinya, Bimo enteng saja menerima. Keluarganya di Semarang memang sudah biasa dengan tradisi nikah beda agama.
Menjelang pernikahan, Taty bertanya pada Bimo, ”Dalam pernikahan Katolik, setahuku anak-anak harus dididik secara Katolik. Betul kan?” Bimo menjawab, ”Oh, iya, jelas.” ”Aku tidak mau itu,” kata Taty tanpa basa-basi. ”Tapi anak-anak punya hak untuk memilih agamanya. Bahkan dia punya hak untuk tidak beragama,” jawab Bimo kemudian. ”Boleh, kan, aku mendidik anak-anak dengan agama Islam?” kata Taty lagi. ”Aku tidak keberatan. Dari dulu kau tahu itu, Maksudku, bila dia sudah dewasa dan mau memilih agamanya sendiri kamu tidak berhak menentukan dia harus masuk Islam,” Bimo menguraikan dengan sabar.
Menurut Bimo, ada tiga alasan mengapa ia tidak keberatan anaknya dididik secara Islam oleh Taty. Pertama, ia merasa kekatolikannya pas-pasan dibandingkan dengan keislaman Taty. ”dari pada aku memaksakan Katolik yang ’pas-pasan’ untuk anak-anak kami, lebih afdol bila mereka dididik Taty dengan Islam yang membebaskan,” ujarnya.
Kedua, waktu Bimo untuk anak-anaknya jauh lebih sedikit. Ketiga, Bimo ingin membesarkan anak-anaknya yang muslim mengenal penganut Katolik bukan dari prasangka yang dikembangbiakkan. Melainkan langsung berinteraksi dengan penganut Katolik yang tak lain ayah mereka sendiri.
Hampir tiap hari, Taty yang berjilbab ini mengajarkan mengaji, salat lima waktu pada empat anaknya. Tak jarang anak-anaknyalah yang mengajak Taty mengaji atau salat. Jika waktu subuh tiba dan Taty masih tidur, putri sulungnya, Sumba (kini 11 tahun), justru yang sering membangunkan Taty. Mata Taty berbinar-binar ketika menyeritakan ini.
Menurut Taty, anak-anak yang dididik dengan wawasan keagamaan yang terbuka dan plural memiliki kelabihan. ”Mereka bisa lebih toleran terhadap keberbedaan,” ujarnya. Setiap Natal, Taty-Bimo mengajak anak-anak mereka pulang ke Semarang. Suatu ketika, pernah terjadi peristiwa menyentuh tatkala Sumba masih kecil. Dengan polosnya, Sumba bertanya, ”Boleh nggak saya masuk Katolik?” Taty balik bertanya, ”Kenapa?” Dengan memelas, Sumba beralasan, ”Kasihan Ayah sendirian.” Tawa lepas Bimo dan taty pun tak terbendung.
Dari kisah ini nampak bahwa dominasi seorang ibu lebih menonjol dalam menentukan dan mendidik anak-anaknya. Hal ini nampak pula pada keluarga Adrie Subono (Islam) dan Chrisye (Protestan). Bos promotor Java Musikindo ini mengakui istrinya lebih mendalami agama ketimbang dirinya. ”Chrisye sering menerapkan ajaran Kristen pada anak-anak dan membawa mereka ke gereja,” kata Adrie kepada Eric Saman dari GATRA.
Meski demikian, Adrie menerapkan prinsip demokrasi bagi ketiga anaknya – Melanie, Christy, dan Adrian – untuk memilih agama. ”Pada dasarnya semua agama sama. Tidak ada yang mengajarkan sesuatu yang buruk,” papar Adrie. Masalah agama sejauh ini tak pernah mengganggu keharmonisan keluarganya. Kuncinya, kata Adrie, saling menghormati dan menurunkan ego masing-masing. Makanya, mereka sepakat menghilangkan simbol-simbol agama seperti Salib dan kaligrafi di rumah mereka di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Namun, dalam ritual agama, mereka saling menyokong. Sudah 15 tahun ini rumahnya dipakai untuk kebaktian rutin saban Kamis. Bila Adrie lupa salat, Chrisye serig mengingatkan. Kadang pula Chrisye ikut puasa di bulan Ramadhan.
Pilihan agama anak mereka kebetulan sesuai dengan jenis kelamin orangtua. Dua putrinya ikut agama ibu. Putranya masuk Islam bersama Adrie. ”Keluarga saya ini benar-benar wujud kedamaian dalam agama,” kata Adrie penuh syukur.
Cerita unik dari anak pasangan beda agama dapat kita simak dalam kisah berikut. Siang itu, selepas beraktifitas di SD Smart Eurika Cinere, Jakarta Selatan, Amadeus Inayat Khan,  (kini 9 tahun) yang beragama Islam, mengajak temannya yang Kristen bernama Bernard, 7 tahun, untuk sekedar main-main ke rumahnya di bilangan Cinere. Bernard pun tak menolak ajakan Diyo, sapaan akrab Amadeus.
Sesampainya di rumah, teman sekelasnya itu nampak bimbang. Matanya bergerak-gerak menyisir satu per satu simbol agama-agama yang terpanjang di dinding tembok rumah pasutri Wandy Nicodemus Tuturong, Kristen (36 tahun), dan Faradiba, Islam (32 tahun). ”Tuhanku itu Yesus. Kalau Tuhanmu kan Allah,” kata Bernard heran selepas memandangi ornamen-ornamen di sekelilingnya. ”Ah, enggak ah. Yesus kan Tuhan saya juga,” jawab Diyo dengan spontan. Lalu, Diyo mengadu ke ibunya. ”Mam, Tuhan Yesus itu Tuhannya Diyo juga kan?” ”Iya,” jawab perempuan yang pernah menjadi aktivis Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ini. ”Tapi kata Bernard Tuhan Diyo koq Allah?” tanya Diyo diselimuti keheranan. Seketika sang ibu pun menguraikan panjang lebar untuk memecah kebingungan anak pertamanya itu.
Sekilas, bagi khalayak umum, kisah di atas terkesan aneh. Tapi, tidak bagi pasangan Binyo dan Diba, panggilan akrab Wandy dan Farahdiba. Lelaki yang kini aktif di National Integration Movement (NIM) ini, sengaja memberikan pendidikan pluralisme kepada anak-anaknya sejak dini. Di rumah, ia memperkenalkan keragaman yang dipajang di rumah melalui asesoris simbol-simbol agama yang dipajang di rumah. Ada gambar Ka’bah, patung Buddha, Yesus, dan lain-lain.”Secara formal, kedua anak saya memang beragama Islam. Tapi, sejak kecil mereka saya biasakan mengenalkan simbol-simbol agama-agama. Agar sejak dini mereka mengerti berbagai keragaman di Indonesia. Begitu dia sudah gede, terserah dia mau memilih agama apa,” kata Binyo kepada Syir’ah.
Sedang pembelajaran di sekolah, ia sepakat dengan gagasan istrinya yang juga sebagai ketua Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) di sekolah anaknya. ”Belajar agama yang baik di sekolah adalah belajar sejarahnya bukan doktrinnnya,” tegas Binyo. Pendidikan doktrin agama yang ia maksud adalah mempelajari ritual-ritual dalam agama, semisal sembahyang, puasa, kebaktian, dan sebagainya.
Dengan belajar sejarah, menurut Binyo, anak-anak akan memahami alasan mengapa agama penting bagi manusia. Kemudian, pemahaman itu dikorelasikan dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, anak punya kemampuan untuk menangkap nilai-nilai agama dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

1.   Tak Perlu Doktriner
Tidak perlunya pendidikan agama secara doktriner juga disuarakan Inggrid Pojoa, Kristen (54 tahun). Bersama suaminya, Bambang Budi Utomo, Islam (54 tahun). Ia mengidealkan pemisahan antara pengajaran agama vertikal, yaitu manusia dengan Tuhannya, dan horizontal, manusia dengan manusia serta lingkungannya.
Untuk pendidikan agama secara vertikal, urai Inggrid, yang bertugas adalah tokoh agama, seperti pendeta, kiai, biksu, dll. Sebab mereka lebih mengerti tentang ritual agama masing-masing. Pendidikan model ini idealnya diperoleh di luar bangku sekolah, di rumah atau di lembaga-lembaga non-formal yang lain. Sedang secara horizontal, sebaiknya diajarkan di sekolah. Jadi, sekolah bertugas untuk membarikan pemahaman tentang nilai-nilai universal dari agama. ”Misalnya, setiap agama mengajarkan ’kasih’. Lalu, bagaimana mengimplementasikan konsep kasih ini dalam kehidupan bermasyarakat? Menurut Inggrid, ”inilah yang perlu dijarkan di sekolah,” terang dosen Arkeologi Universitas Indonesia ini.
Mengenai agama anaknya, Ayub Tular Kusumo Negoro yang kini berumur 21 tahun dan Islam, Inggrid punya cerita. Dulu, menurutnya, sebelum menikah ia sudah membuat kesepakatan dengan suami, bahwa agama anak harus ikut suami. ”Bukan berarti saya akan memaksa anak. Maksud saya, sejak kecil anak harus punya pegangan agama. Jika nanti dia sudah besar, tentu semua dikembalikan kepadanya. Dia mau meneruskan agama yang dipeluk sejak kecil, atau menyakini keyakinan lain,” imbuhnya. Hal ini senada dengan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. ”Agama anak sebaiknya ditentukan sejak kecil, agar bisa dikondisikan sejak dini,” katanya. Tapi, begitu dewasa kebebasan memilih agama dikembalikan kepada anak.
Pilihan memang terbuka luas. Bagi orang tua dapat memilih dan memilah cara terbaik untuk mendidik anak-anak mereka. Tinggal bagaimana kita melihat pertumbuhan mereka. Penulis sendiri (AN), yang kini sudah dikaruniai dua orang putra, ’terpaksa’ memberikan label agama tertentu pada anak-anak kami karena hal itu menjadi keharusan administratif di level kelurahan ketika kita mengurus Kartu Keluarga (KK). Dalam KK tersebut ada kolom agama yang mesti diisi identitas agama anak. Tak bisa tidak. Sebab, jika dikosongkan, sistem komputer di Kelurahan tak pernah bisa mencetak KK tersebut. Begitulah adanya. Komputer pun harus turut campur agar setiap orang, meski masih belum tahu agama itu apa, untuk memeluknya tanpa tahu apa makna dan tujuannya.
Jujur, saat hendak mengurus akta kelahiran dan KK untuk anak pertama kami, Melvin Reynard Alvino (kini 4 tahun), kami tak ingin menulis agama apapun buat dia. Pasalnya, hemat kami, anak seusia itu, yang baru saja lahir, belum mengerti agama itu apa. Alih-alih harus memilih agama A atau B. Kami tak mau merampas hak anak untuk memilih sesuai hati nuraninya, juga tak mau sok tahu memilihkan agama apa buat dirinya, seolah itu agama yang diingininya.
Akan tetapi karena mau tidak mau kolom agama harus diisi, dengan terpaksa kami memutuskan untuk menulis kata Kristen untuk anak pertama kami itu. Tentu bukan maksud penulis untuk mengkristenkan dia, melainkan agar dia mengenal perbedaan sejak usia belia. Harapan kami, kelak jika ia beranjak dewasa, akan bertanya pada kami, ”Lho koq agama saya Kristen, sedang papa Islam, dan mama Khonghucu.” Saat itulah kami akan menjelaskan bahwa bukan maksud kami mengkristenkan dirinya, tetapi semata-mata bahwa di dunia ini banyak agama sebagai jalan menuju singgasana-Nya. Jika dewasa kelak ia tak nyaman dengan identitas agama itu sebagaimana tertulis di KK, ia bebas memilih agama lain yang sesuai dengan pilihan nuraninya.
Begitupun ketika anak kedua kami, Malvin Reizen Alvino (kini 3,5 tahun) lahir, kami menuliskan agama Hindu di KK. Dalam keseharian, di rumah, kami memperkenalkan ajaran agama yang kami anut, Islam dan Khonghucu. Ritual-ritual sederhana yang mudah ditiru kami persilahkan anak-anak untuk mengikutinya. Misalnya salat dan kongpie (sembahyang ala Khonghucu).
Sementara jika di sekolah, putra pertama kami saat duduk di bangku TK A kami persilahkan untuk mengikuti pelajaran agama Kristen. Kini setelah kelas satu SD dan bersekolah di sekolah Buddhis maka otomatis ia mengikuti pelajaran agama Buddha. Begitulah kehidupan kami. Kerap kedua putra kami ikut pergi ke Lithang (tempat ibadah umat Khonghucu). Tak jarang ikut pula pergi ke mesjid. Jika tiba hari raya keagamaan, Idul Fitri misalnya, kami sama-sama pergi silaturahmi ke tetangga dan sanak saudara. Saat Imlek tiba kami juga turut  merayakannya dengan berkunjung ke sanak saudara. Giliran Natal, kamipun mengantar anak-anak kami untuk merayakannya di gereja dekat rumah.
Dengan cara itu kami ingin anak-anak kami kelak tumbuh menjadi anak yang tidak alergi dengan perbedaan, agama sekalipun. Kami juga berharap, dengan cara seperti itu akan tumbuh sikap toleran, bisa menghargai agama orang lain yang berbeda, dan yang lebih penting adalah tak pernah mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar dan kemudian menganggap salah atau sesat agama orang lain. Kami ingin anak-anak kami tumbuh menjadi anak-anak yang terbuka, tidak picik pandangan, dan senantiasa menghargai setiap perbedaan yang mereka jumpai di sekelilingnya. Dengan begitu mereka akan tumbuh menjadi generasi yang toleran nan pluralis.
Apakah itu sebuah impian yang muluk? Menurut kami sama sekali tidak. Lihat saja kisah di bawah ini. Dari pasangan orang tua beda agama tumbuh anak-anak yang toleran. Bahkan dari mereka mengikuti jejak orang tuanya  menikah dengan pasangan yang berbeda agama.
Nadin Asmarandjani, kini berusia 29 tahun. Perempuan tinggi semampai ini adalah buah cinta nikah beda agama. Ayahnya Djani yang berdarah betawi beragama islam, sementara ibunya Conny beragama Kristen. Si ibu berdarah Manado-Timor.
Djani-Conny menikah pada 1978. Untunglah pernikahan mereka masih bisa dilakukan di kantor Catatan sipil. Sebab pada tahun itu, belum ada UU yang melarang pernikahan beda agama. UU Pernikahan tentang tidak bolehnya nikah beda agama baru disahkan pada tahun berikutnya, 1979.
Ada semacam komitmen yang dibangun kedua orang tua Nadin, Djani-Conny. Dari hasil pernikahan yang mereka bina selama ini terhadap agama yang dianut buah dari keturunannya. Untuk perempuan menganut agama ibu, dan laki-laki menganut agama bapaknya. Meski demikian tak ada paksaan jika anak laki-lakinya kemudian menganut Kristen, begitupun sebaliknya.
Jadi sebenarnya keputusan beragama, itu diputuskan oleh si anak ketika berusia 17 tahun. Di usia itulah Nadin sudah dihadapkan pada pilihan dan sudah dapat memutuskan agama mana yang akan ditekuni kemudian. Dan Kristen menjadi pilihan hidupnya. ”Kami tidak pernah melihat orang tua ribut karena perbedaan agama,” aku Nadin kepada Syir’ah dua tahun lalu.Nindia, adik Nadin, juga mengakui tak pernah melihat kedua orang tuanya ribut soal agama.
Baik Nadin maupun Nindia, keduanya mengenyam pendidikan di sekolah Kristen. Mereka pun rajin pergi ke gereja tiap hari Minggu. Meski demikian, Nadin secara informal kerap berdiskusi seputar nabi, Tuhan, dan Islam. ”Hal itulah yang kita bicarakan sehari-hari, terutama saat perjalanan ke sekolah saat papa antar,” ungkap Nadin polos.
Pengalaman serupa diungkapkan Rari. Perempuan bernama lengkap Inggita Adya rari ini lahir di Jakarta pada 9 September 1977. jika Nadin dididik secara Kristen, Rari mengaku sejak kecil dididik secara Islam oleh ayahnya, Edi Subijanto. Rari hasil pernikahan beda agama sama seperti Nadin, bapak Islam dan ibu, Anastasi Indah Sri Rahayum, beragama Kristen.
Anehnya, meski Rari seorang muslimah, pendidikan formalnya adalah sekolah Katolik. Di rumah saya belajar Islam, di sekolah saya tidak belajar agama tertentu,” ungkap Rari. Meski belajar formal sekolah Katolik, Rari mengaku tidak mendapatkan pelajaran agama Katolik secara langsung. Sebab, di sekolah itu, kata Rari, hanya diajarkan etika oleh seorang yang ahli di bidang filsafat. ”Yang diajar seputar etika dan perbuatan baik secara umum. Mata pelajaran ini hanya diikuti oleh siswa non-Katolik,” tutur Rari lagi.
Semula, Rari kerap diingatkan oleh orang-orang bahwa sekolah di Katolik pasti akan di-Kristenkan. Kalau pergolakan batin, Rari memang kerap merasakan, terutama saat duduk di bangku SMA. Pernah suatu ketika, Rari ingin dibabtis oleh seorang pastor di sekolah itu. Ada alasan yang membuat batin Rari bergolak, hingga berniat ingin dibabtis. Itu karena, ia melihat fenomena belakangan, pada 1992-an, Islam identik dengan kekerasan. ”Bagi saya itu adalah wajah Islam yang sangat menakutkan,” kenang Rari seperti dikutip Syir’ah.
Pergolakan batin Rari makin karuan ketika sering melihat ibunya yang Katolik terus dihantui teror. Teror ini didapatkan ketika ibunya hendak ke gereja. Yang lebih parah, soal labelisasi terhadap dirinya. Rari mendapat julukan si anak orang kafir. Terus, ia juga melihat gunjingan dari orang Islam ketika ada temannya pindah agama ke Kristen.
Nampak begitu berat cobaan yang dihadapi oleh keluarga Rari. Selain siksaan seperti itu, umat Nasrani juga sering dipersulit dalam mengurus izin dan prosedur pendirian tempat ibadahnya. ”Saya menyaksikan susahnya bukan main,” ujarnya. Terus terang, hal-hal itulah yang membuat Rari trauma hingga batinnya terus bergolak. Ujungnya, ia berkeinginan untuk dibabtis oleh seorang partor.
Anehnya, ketika Rari ingin dibabtis, sang Partor alias Romo malah memberikan penjelasan tentang Islam. ”Islam adalah agama yang baik, damai dan cinta. Selain itu, Islam juga agama perdamaian, toleransi, dan anti kekerasan,:” ungkap Rari menirukan Romo yang diminta membabtisnya itu. Selain pastor, Romo itu juga merupakan guru BP (Bimbingan Penyuluhan) – kini bimbingan konseling.
Terakhir, Romo itu mengatakan, tidak ada agama yang mengajarkan keburukan dan kejelekan. Kalaupun ditemukan, itu bukan agamanya tapi manusianya. ”Justru saya banyak belajar tentang Islam dari Romo,” ungkap perempuan yang bekerja sebagai Dosen Tidak Tetap di STBA LIA. Rari menikah pada Januari 2005 silam dengan Dwi Haryanto Sapto Nugraha, yang juga seorang Muslim.
Dari kisah Rari ini banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik. Pertama, perbedaan agama diantara orang tuanya yang harus menjadi sumber petaka. Justru nilai-nilai toleransi, saling menghargai, bahkan saling membantu dan mengingatkan dalam banyak hal terkait agama masing-masing dapat berjalan dengan baik. Ayahnya yang muslim dapat mengingatkan ibunya kala lupa pergi ke gereja dan  mengantarkannya untuk kebaktian. Sebaliknya, sang ibu tanpa rasa canggung mengingatkan sang ayah jika tiba waktunya salat. Jika Ramadhan tiba pun dengan penuh kesadaran menyiapkan makan sahur serta menemani sahur bersama anak-anak mereka. Bukankah ini sebuah kehidupan yang senantiasa merealisasikan nilai luhur dari agama apapun yang tak semua orang, keluarga dapat merealisasikannya?.
Kedua, perbedaan agama diantara kedua orang tua Rari juga sama sekali tak menghalanginya untuk memilih agama yang dikehendakinya. Ini karena kedua orang tua mereka sangat toleran untuk memberi kebebasan kepada nak-anak mereka untuk memilih agama sesuai pilihan hati nuraninya. Orang tua sama sekali tak pernah melakukan tarik ulur agar anak-anak mereka mengikuti agama yang dianut sang ayah atau sang ibu. Hal inilah yang membuat anak-anak mereka merasa nyaman-nyaman saja untuk beragama, tanpa rasa pekewuh dengan kedua orang tuanya. Justru yang kerap membuat tidak nyaman, bahkan tertekan sehingga mendatangkan trauma berkepanjangan sebagaimana dialami Rari adalah orang-orang di luar rumah tngga mereka. Bisa dari tetangga, sanak saudara, dan masyarakat sekitar pada umumnya.
Ketiga, kekukuhan dalam beriman tak selamanya datang dari orang yang sama agamanya dengan diri kita. Dalam kisah Rari, disaat ia mengalami krisis identitas ke-Islamannya dan memutuskan untuk hijrah ke Katolik, justru sang Romo malah memberikan kekuatan untuk tetap berislam. Sang Romo sama sekali tak menggunakan aji mumpung untuk menggaet umat lain untuk memasuki agamanya. Bagi Rari dan juga mungkin kita juga, sikap yang ditunjukkan oleh sang Romo itu justru akan memunculkan citra yang positif baik bagi Romonya sendiri, juga bagi agama Katolik pada umumnya. Nah, bukankah andai saja kita, semua umat beragama memiliki perilaku sebagai yang dicontohkan sang Romo itu, kehidupan beragama kita tak akan pernah ada saling curiga, prasangka satu dengan yang lainnya yang kerap menghantarkan kita pada perselisihan panjang, bahkan pertikaian dan perang yang banyak memakan korban.
Menikah beda agama tentu ada ’keuntungan’ dan ’kerugian’-nya. Keuntunganya, bisa disaksikan dari penjelasan Nadin. Ia tinggal di lingkungan ayahnya yang kental dengan tradisi Betawi. Menurut Nadin, orang Betawi di lingkungan tempat tinggalnya, Utan Kayu, Jakarta Timur, sudah terbiasa dengan adanya perbedaan termasuk soal agama.
Perbedaan agama, sebagai dikupas Syir’ah, bukan hal yang asing bagi lingkungan mereka, sehingga mereka tidak merasa risih, ribet dan bahkan tidak setajam sekarang ketika memandang perbedaan agama. ”Saya tidak pernah berada di lingkungan saya tertekan. Kondisi lingkungan saya sangat terbuka bagi saya dan keluarga,” aku perempuan lulusan Fakultas Tehnik Jurusan Arsitek Universitas Indonesia.
Nadin juga merasa tak asing dengan aktivitas keislaman. Ketika ayahnya menjalankan salat lima waktu sehari dan aktivitas teman-teman muslimnya. Seperti lebaran, puasa Ramadhan, sampai melayat orang meninggal. Nadin berpendapat bahwa yang berbeda adalah cara beribadahnya saja. Kalau orang Islam salat, sedang orang Kristen dengan melipat tangan menggunakan jari.
Meski perbedaan itu kemudian dimaknai sebagai keindahan oleh Nadin, tapi tetap saja rasa sedih menghinggapinya. Misalnya ketika Natal tiba. Keluarga Nadin selalu tak lengkap. Begitupun ketika lebaran Islam. Tapi kesedihan itu tak jadi soal bagi Nadin. Toh, pada kenyataannya, pada waktu silaturrahmi tetap saja dilakukan secara bersamaan. Baik saat natalan maupun lebaran (Idul Fitri). Begitupun ketika Ramadhan tiba. Sang ibu selalu menyiapkan makan sahur. ”Sahur bareng samoai buka puasa. Tradisi yang kami jalani sejak kecil,” terang Nadin seraya menjelaskan puasanya untuk kesehatan dan melatih emosi. Begitu sebaliknya yang dilakjukan sang ayah. Ayah Nadin selalu menyiapkan hiasan pohon Natal. Malah, ayah Nadin selalu mengantarkan ibu dan anak-anaknya (Nadin dan Nindiya) pergi ke gereja.

2.    Mengikuti Jejak Orang Tua
Beda agama bukan persoalan di keluarga Nadin. Itulah sebabnya barangkali yang membuanya tak menjadi penghalang ketika harus menikah dengan pasangan yang berbeda agama dengan dirinya. Tentang pernikahannya dengan lelaki yang beda agama dengannya, menurut Nadin, kunci sebelum melakukan proses pernikahan adalah adanya keterusterangan. Jujur dan terbuka dengan pasangan, keluarga pasangan, dan pihak yang menikahkan terkait identitas agamanya. Sehingga perpindahan agama pura-pura dan masuk suatu agama tanpa dikehendaki tidak perlu terjadi.
Hal itulah yang dilakukan orang tua Nadin. Juga Nadin dan suaminya, Tajid Yakub, sejak pacaran sudah membicarakan identitas agama dan rencana ke jenjang pernikahan sampai urusan anak. Bagi Nadin hal itu tak lagi menjadi masalah karena ia sejak belia sudah berlatar belakang plural. ”Kami menyadari betul kondisi lingkungan yang berbeda dan kami juga mencari cara. Kami sama-sama punya keyakinan yang sama, yakni ingin hidup di jalan yang benar, tidak mau menyusahkan orang lain, jujur, bahkan turut mengembangkan bangsa ini tetapi dengan agama yang berbeda. Namun kami berdua percaya bahwa tidak mungkin ada banyak Tuhan. Tuhannya mungkin satu, yang berbeda cara beribadahnya saja. Terlalu dahsyat dan mengerikan kehidupan ini dan resikonya bila dikotak-kotakkan ke dalam agama,” terangnya.
Pernikahan Nadin menggunakan penghulu Islam dan mendapat surat nikah. Kemudian melakukan pemberkatan di gereja yang diteruskan ke catatan sipil. Tanpa pindah agama pernikahan dan pencatatan itupun berhasil dilalui. ”yang penting bagi saya bahwa pernikahan kami legal secara hukum dan mendapat surat-surat negara. Lebih penting lagi Tuhan tahu, keluarga merestui dan teman-teman juga tahu. Masalah omongan orang lain, sah-sah saja berpendapat dan saya hargai. Tetapi saya punya pilihan sendiri yang harus saya jalani,” tuturnya menegaskan.
Tak jauh beda dengan orang tua Nadin, kehidupan Nadin dan suaminya dalam beragama selayaknya pasangan lain yang saling mengingatkan. Ia mengingatkan salat untuk suaminya dan sebaliknya, suaminya kerap mengingatkan dirinya untuk tidak lupa pergi ke gereja. ”Melihat dia salat malam sudah cukup menenangkan saya,” ungkap ibu dari Kayla Ananta Yakub.
Kesepakatan di antara mereka juga terjadi, hanya saja mereka bersepakat bahwa anaknya kelak tidak dididik secara ”fanatik” pada suatu agama tertentu, baik agama ayah atau ibu. ”Dengan fanatik akan menyempitkan pemikirannya, tidak berkembang, tidak bisa mencintai dan menghargai dan menolong sebagaimana Tuhan minta,” imbuh istri yang berprofesi sebagai interior designer ini.
Menurut Nadin, biasanya masalah yang timbul dari pernikahan beda agama bukanlah masalah agama, bahkan masalah yang muncul sama dengan keluarga seagama, seperti masalah sosial atau masalah keuangan. Keberlangsungan pasangan orang tuanya membesarkan mereka, menurut Nadin karena ada kasih di antara mereka dan adanya kesabaran, ketekunan dan keikhlasan dalam menjalaninya. Itulah pelajaran yang dia ambil.
Menilik kembali perjalanan hidupnya hingga kini, perempuan yang hobi outbond dan nari tradisional ini mengaku merasa nyaman berada di tengah lingkungan Islam, baik dalam keluarga maupun pertemanan.
Kenyamanan sebagaimana dialami Nadin juga dirasakan Adinda, 27 tahun, beragama Katolik, anak dari pasangan orang tua berbeda agama. Ayahnya, Dito Pratomo, 53 tahun, Katolik yang menikahi ibu Adinda, Rahma, muslimah yang kini berusia 49 tahun. Kedua orang tua Adinda ini menikah secara berbeda agama 27 tahun silam. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah Adinda yang kemudian memantapkan diri memeluk Katolik.
Dalam keluarga, sebagaimana dipaparkan kepada penulis (AN) Adinda diberi kebebasan untuk memilih agama apa. Islam dipersilahkan, Katolikpun tak ada masalah. Orang tuanya telah memberikan contoh bagaimana bertoleransi dengan pasangan yang berbeda agama. Tak sekedar itu, seperti juga pengalaman Nadin dan Rari, orang tua Adinda juga saling membantu untuk mempersiapkan kebutuhan ibadah masing-masing. Misalnya, ketika Ramadhan tiba, sang ayah, Pratomo, sering membangunkan ibunya untuk makan sahur. Perlengkapan ibadah seperti mukena, kerudung dan sajadah pun dibelikan khsusus oleh sang ayah yang juga aktif menjadi pengurus Paroki di Surabaya. Sebaliknya, ibu Adinda juga sigap menyiapkan perlengkapan Natal saat perayaan itu tiba. Dari membeli pohon Natal dan menghiasinya dengan pernik lampu warna-warni hingga menyiapkan hidangan khas Natal kesukaaan keluarga.
Contoh keharmonisan pasangan Pratomo dan Rahma inilah barangkali yang tidak menghalanginya untuk menikah dengan laki-laki pujaan hatinya Arief, 30 tahun, penganut Islam yang sudah dikenalnya sejak enam tahun silam. Meski awalnya agak rumit untuk mendapatkan restu dari orang tua Arief, namun akhirnya keduanya dapat melangsungkan pernikahan pada Maret 2007 lalu. Pernikahan keduanya menggunakan cara Islam dengan akad nikah dan pemberkatan gereja untuk prosesi Katoliknya.
Dalam mengarungi kehidupan pernikahan, keduanya banyak menyontoh apa yang sudah dipraktikkan orang tua Adinda. ”Saya diberi kebebasan untuk memeluk agama apa saja. Kalau akhirnya saya menganut Katolik bukan berarti saya menganggap Islam itu kurang sempurna. Bahkan saya kerap menemani ibu puasa ketika Ramadhan tiba,” ungkapnya pada penulis. Dalam kerseharian pun sikap toleransi tak sulit untuk ia jalankan. Arief, suami Adinda yang berprofesi sebagai pekerja kontraktor real estat kerap harus pulang larut malam. Jika begitu ia sering bangun kesiangan. ”Karenanya saya yang harus rajin membangunkannya untuk salat subuh,” aku Adinda bangga. Untuk pergi ke gereja Arief memang jarang mengantarkannya. Sebab, meski hari Minggu, kata Adinda, suaminya itu kerap harus masuk kerja. Gantinya, saat pulang gerejalah sang suami menjemputnya untuk pulang sama-sama.
Selain Adinda dan Arief, pasangan Andi, 32 tahun, penganut Kristen dan Putri, 27 tahun, muslimah, juga berlatar belakang  orang tua beda agama. Andi merupakan anak laki-laki ketiga dari pasangan  Hariyanti, penganut Islam yang menikah dengan Bonar Tampubolon yang beragama Kristen. Empat puluh tahun lebih pasangan ini telah mempraktikkan keluarga beda agama tanpa hambatan yang berarti. Bahkan kelima putra mereka berbeda-beda pula agamanya. Dua kakak Andi  satu adiknya memeluk Islam sebagai agamanya. Sedang satu adiknya lagi memeluk Kristen sebagaimana yang dia anut.
Saat Andi dan Putri menikah di Denpasar, Bali, Juli 2007 lalu, kedua keluarga besar dari Andi dan Putri turut hadir memberikan restu kepada keduanya. Perbedaan agama tak menghalangi mereka untuk mempertemukan anak-anak mereka untuk duduk di pelaminan. Orangtua Putri yang berlatar belakang tradisi Jawa juga tak canggung menyaksikan anaknya menikah dengan cara Islam melalui akad nikah sekaligus pemberkatan gereja ala Kristen. Kini, pasangan yang sebelumnya memang bertemu di Pulau Dewata ini telah dikaruniai seorang putra berusia enam bulan.
Menurut penuturan keduanya, kehidupan mereka semakin bahagia. Apalagi setelah hadir si buah hati hasil cinta kasih mereka. Perbedaan agama sama sekali tak menghalangi mereka untuk mewujudkan keharmonisan dalam keluarga. ”Kami ingin anak-cucu kami kelak lahir sebagai generasi toleran dan pluralis agar bangsa ini memiliki generasi yang menjaga kebhinekaan dan menghargainya sebagai titipan Tuhan,” harap Andi serius.
Harapan Andi dan Putri mungkin terdengar muluk. Tetapi bukan tidak mungkin harapan untuk melahirkan generasi pluralis justru akan lahir dari pasangan-pasangan beda agama ini. Dari ruang keluarga mereka sudah menanamkan nilai-nilai kemajemukan dan sikap  toleransi kepada anak-anak mereka sejak usia dini. Diharapkan dari merekalah kelak, sebagaimana pengalaman Andin, Rari, dan Andi, kehidupan harmoni dalam bingkai kebhinekaan dapat diwujudkan.

3.      Anak Saleh
Sebagai penutup, anak memang merupakan amanah Tuhan yang harus diasuh, dididik, dan dibimbing menjadi anak yang salih dan salihah (dalam kerangka Islam). Anak salih, menurut Imam Nakhai,  adalah anak yang memiliki skill, pengetahuan, dan moralitas sehingga mampu menjalali hidup yang akan ditempuh.
Dalam literatur hadits dinyatakan bahwa pendidikan yang paling utama bagi anak adalah budi pekerti, sopan santun, moralitas dan keterampilan-keterampilan hidup sesuai dengan zamannya. Lihatlah hadits Nabi yang diriwayatkan al-Baihaqi dari Abu Nafi: ”Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya ialah mengajarkannya menulis, berenang dan amanah, dan janganlah anak itu diberi selain rizqi yang halal.”
Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda: ”Dekatlah kamu pada anak-anak dan perbaikilah budi pekerti mereka.” al-Qur’an juga menganjurkan dengan tegas agar orang tua memperlakukan anak-anak dengan kata-kata yang baik (qaulun syadidan) agar anak tidak lemah di kemudian hari. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk pandai bersyukur kepada Tuhan dan juga kepada kedua orang tua yang telah melahirkannya.
Pendekatan pendidikan seperti inilah, menurut Imam Nakhai, yang mesti diberikan pada anak-anak yang dilahirkan dari rahim muslim dan non-muslim. Soal akan beragama apa nanti biarlah anak sendiri yang menentukan setelah mereka memiliki bekal cukup tentang nilai-nilai kebenaran universal agama. Pendidikan yang memaksakan anak anak harus mengikuti agama ayah atau agama ibu dalam konteks seperti ini hanya akan membuat rumah tangga seperti pasar yang penuh persaingan dan bukan seperti surga yang penuh dengan pengertian dan kedamaian.
Dengan demikian, pendidikan anak dari pernikahan beda agama yang diabsahkan seyogyanya tidak menyentuh soal-soal ibadah partikular yang rawan perbedaan. Melainkan pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai etika moral yang dimiliki seluruh ajaran agama. Inilah isyaratu an-nash petunjuk nash, dari ayat ”Dan dihalalkan bagi kalian menikahi ahl al-kitab yang menjaga kehormatan dirinya” [QS. Al-Maidah:5].
Secara isyaratu an-nash, menurut Imam Nakhai, ketika Allah memperkenalkan pernikahan muslim dan ahl al-kitab maka segala konsekuensinya termasuk pendidikan dan keberagamaan anak haruslah dibicarakan dan disepakati kedua belah pihak, istri dan suami. Tidak boleh ada pemaksaan dari salah satunya.
Dalam sebuah hadits, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah memberikan pemilihan terhadap seorang anak apakah ia akan mengikuti ayahnya yang muslim atau ibunya yang musyrikah. Ternyata anak tersebut lebih cenderung memilih ibu. Hadits inilah yang dijadikan dasar oleh ulama madzhab Hanafi dan Maliki bahwa hadinah (ibu yang akan merawat, mendidik anak, dan membesarkannya) boleh seorang non-muslim baik ahl al-kitab atau tidak, baik ibu atau perempuan lain.
Seorang anak, tutur hanafiyah, tetap ia berada dalam perawatan ibu sampai, pertama, dia memahami agama-agama sampai dengan setelah memasuki usia tujuh tahun misalnya. Kedua, jika anak tersebut tetap berada dalam naungan ibu yang musyrikah maka keberagamaannya dikhawatirkan. Seperti sang ibu mulai mengajarkan doktrin-doktrin agamanya, atau memaksa pergi ke tempat ibadah sang ibu. Atau anak mulai dibiasakan mengkonsumsi minuman keras dan daging babi.
Ketika ibu yang musyrikah mulai mengajarkan hal-hal di atas maka hak asuh anak dan didik anak dapat dicabut dari tangannya. Mafhumnya, jika ibu tidak mengajarkan doktrin-doktrin agama yang bersifat partikular, melainkan mengajarkan nilai-nilai etika moral dan kebenaran universal, maka ibu musyrikah tetap memiliki hak asuh.
Al-hasil pendidikan anak yang lahir dari pernikahan beda agama adalah harus lebih diorientasikan pada pengenalan akan kebenaran dzat sang pencipta, dan ajaran-ajaran universal. Bukan pada pernak-pernik agama yang rawan perbedaan dan perpecahan. Namun demikian, bukan berarti hal itu terlarang mutlak. Jika kita, sebagai orang tua sudah melihat secara psikologis anak bahwa hal itu perlu, dapat pula mulai diperkenalkan pada anak-anak kita. Tetapi jauh lebih penting dari itu, sekali lagi adalah lebih mengutamakan pada nilai-nilai moral, etika dan kebenaran universal.
Dengan demikian harapan untuk melahirkan generasi pluralis dari ruang keluarga beda agama bukan sesuatu yang tak mungkin. Beberapa pasangan yang diceritakan di atas telah memberikan contoh yang apik. Sekarang giliran kita, yang juga pasangan beda agama, untuk mengikuti jejak mereka, atau paling tidak terinspirasi dari kisah-kisah mereka untuk mempraktikkan hal serupa. Maka, lima, sepuluh, atau dua puluh tahun yang akan datang, negeri ini akan terwarnai oleh generasi pluralis yang toleran sehingga upaya untuk mempertahankan  Indonesia yang plural, tetap utuh, damai nir-kekerasan menjadi keniscayaan. Wallahu a’lam.



No comments: