November 15, 2010

Catatan untuk Pasangan Beda Agama (PBA)

Berikut ini adalah tulisan teman, Ari Perdana, di milis Kawin Campur, yang saya posting disini.

Ari (muslim) yang menikah dengan Julie (katolik) dan telah dikarunia seorang anak perempuan cantik dan lucu bernama Cemara, tidak percaya dengan pendapat yang mengatakan "pernikahan beda agama lebih sulit dipertahankan karena melibatkan agama yang berbeda", atau "beda suku saja sulit, apalagi beda agama."

Pernikahan adalah penyatuan dua individu, yang memiliki karakter berbeda, jadi sudah tentu pastinya diperlukan penyesuaian. Dan dua individu yang menyatu dalam jalinan pernikahan juga memiliki latar belakang berbeda, baik itu suku, pendidikan, culture keluarga, kebiasaan, termasuk agama. Tidak ada teori/best practice, semua hubungan, semua pernikahan adalah unik. Semua bisa sama sulitnya. Tinggal bagaimana ke-dua individu yang mau berjanji sehidup-semati menjaga komitmennya, punya tujuan besar, untuk mengalahkan semua perbedaan.


**********

Di milis kawincampur, pertanyaan paling sering diajukan oleh beberapa teman yang sedang menjalani hubungan dengan pasangan yang berbeda agama, dan tengah memikirkan untuk memasuki jenjang pernikahan, adalah “apa yang harus disiapkan/dilakukan?”

Jawaban atas pertanyaan itu ada dua aspek: soal mental, dan prosedural. Saya akan membagi beberapa hal terkait yang pertama. Intinya, yang terpenting dari semua ini adalah apa yang anda sendiri pikirkan dan rasakan. Jadi, tanyakan beberapa hal berikut ini.

Pertama -- ini standar untuk semua pasangan, bukan hanya yang beda agama. Apakah anda sudah benar-benar yakin, bahwa anda dan pasangan memang punya cita-cita bersama yang ingin dicapai? Bagaimana anda anda di masa depan, dalam 5, 10, 20, 50 tahun lagi bersama dia? Seberapa yakin atau tidak yakin anda atas masa depan yang akan anda lalui bersama?

Kedua -- coba mulai bertanya, apakah anda dan pasangan sudah siap dan sudah bisa menanggalkan semua ego? Okelah, bisa aja kita bilang, tidak ada masalah dengan pernikahan beda agama. Saya akan membiarkan pasangan gue dengan keyakinannya.

Tapi coba tanya lagi ke diri sendiri, apakah kita masih punya harapan atau gambaran ideal akan keluarga yang ke gereja/masjid bareng? Apakah masih ada 'idealisme' bahwa suatu ketika saya akan mengajak pasangan saya ikut agama saya? Apakah masih ada keinginan bahwa anak-anak harus ikut agama kita, dan tidak rela kalau ikut agama pasangan kita. Apakah kita masih menganggap bahwa kalau anak tidak seagama dengan kita maka doanya tidak akan terkabul, dan kita tidak bisa mendoakan keluarga kita?

Kalau masih ada hal-hal spt ini, lebih baik dikaji ulang. Mungkin sekarang, karena masih semangat untuk bersama, ini tidak keliatan. Tapi akan lebih repot kalau hal-hal seperti ini muncul belakangan.

Ketiga -- coba tanya lagi ke diri sendiri, apakah masih merasa berat untuk menjalani pernikahan beda agama karena takut dosa? Intinya begini. Setidaknya dari sisi Islam, ada banyak pandangan tentang pernikahan beda agama. Banyak yang bilang haram. Tapi banyak juga yang bisa memberikan argumen sebaliknya. Saya pribadi menghargai pendapat yang mengatakan itu haram. Tapi saya merasa yakin, dan nyaman, dengan pendapat yang mengatakan sebaliknya. gue merasa itu nggak salah, dan gue bisa menemukan argumen2 yang mendukung pendapat ini.

Tapi kalau sudah mendengar semua pandangan dan masih ada keraguan, masih merasa ada ketakutan untuk ‘berbuat dosa’, lebih baik berpikir ulang.

Keempat -- coba uji diri anda dengan sebuah kondisi hipotetis. Andaikan anda harus memilih antara menyenangkan keluarga atau meraih cita-cita bersama anda dan pasangan. Bisakah anda dengan yakin mengatakan, "I love my family but this is my life..."

Betul, kita tidak ingin konflik dengan keluarga. Kita ingin semua bisa berjalan mulus. Tapi mental exercise ini perlu untuk menguji kita, seberapa kita berani untuk menghadapi semua risiko. Kalau ternyata masih ada keraguan untuk itu, lebih baik berpikir ulang di saat ‘biaya’ untuk berpisah masih belum besar.

Pengalaman pribadi. Saya pernah dalam situasi ini dan mengajukan pertanyaan yang sama pada diri saya sendiri. Dan jawaban saya adalah: saya memilih hidup saya, dan masa depan saya bersama pasangan saya. Saya menyayangi keluarga saya. Dan hati ssaya akan hancur kalau sampai harus musuhan. Tapi saya akan lebih menyesal kalau saya tidak bisa memilih jalan hidup saya sendiri yang saya anggap benar.

Sejujurnya, saya sempat ada di titik dimana saya sudah bersiap-siap untuk jalan sendiri dengan pilihan saya. Secara harafiah, saya sudah menyiapkan kopor untuk angkat kaki. Akhirnya, saya bersyukur kalau opsi itu tidak perlu gue pilih.

Nah, kalau anda sudah ‘lulus ujian’ di atas, barulah kita bisa bicara soal2 yang teknis.

Pertama -- bagaimana pendekatan pada keluarga. Dalam kasus saya dulu, tantangan paling berat adalah ke ibu. Butuh dua tahunan buat saya untuk meyakinkan beliau. Tak terhitung berapa kali terjadi adu argumen adu referensi yang dipakai, bahkan saling membawa ahli agama yang bisa mendukung posisi masing-masing (saya mengajak ibu saya ke pak Zainun Kamal). Sampai akhirnya saya mengindikasikan, kalau memang beliau masih tidak bisa menerima argumen sata, apa boleh buat. Saya akan jalan sendiri.

Nah, ketika akhirnya ibu saya sudah bisa menerima, keluarga besar lain ya tidak punya pilihan lain selain merestui. (kalau tidak nggak, ya lalu mau bagaimana lagi memang?). Kondisi tiap orang pasti beda2. Tapi poin saya adalah, "win your most important supporter in the family."

Kedua – argumen seperti apa yang harus disampaikan. Ada hal2 yang paling sering dilontarkan. Misalnya: "kalo beda agama pasti nggak akan cocok," "nanti anaknya kasian," "kan nggak boleh sama agama," “tidak direstui Tuhan,” dan sebagainya. Ini memang harus dibahas kasus-per-kasus.

Tapi intinya, setiap pernikahan punya potensi masalah. Yang seagama juga punya banyak potensi masalah. Yang satu merasa yang lain kurang taat, atau kelewat taat (jadi suka maksa beribadah). Dan masalah-masalah lain yang tidak ada hubungannya sama keyakinan.

Di sisi lain, pernikahan beda agama nggak harus jadi masalah. Juli, istri saya, selalu menemani bangun sahur, dan kalau pas di rumah, kita berbuka bareng. Saya nggak merasa ada yang kurang dengan kenyataan bahwa ia tidak ikut puasa. Setiap minggu saya mengantar ke gereja. Di sana kalau nggak main dengan si kecil Rara, saya baca buku di luar. Dan kayaknya saya malah lebih hafal jadwal misa dari Juli. Selama ini, itu semua bisa berjalan secara natural.

Saya kenal banyak pasangan lain yang bisa mengarungi pernikahan beda agama relatif tanpa masalah. Sebaliknya, banyak pasangan seagama yang bermasalah, bahkan hingga pisah. Saya tidak punya statistik, tapi saya yakin, % pasangan beda agama yang berpisah lebih kecil dari % pasangan seagama yang berpisah.

Dan saya punya teori untuk itu: kalau kita sudah memutuskan untuk menikah dengan pasangan berbeda agama, kita butuh punya rasa cinta yang jauh lebih besar dari pasangan pada umumnya. Karena untuk bisa mengarungi berbagai tantangan dari keluarga dan lingkungan, kita perlu passion yang jauh jauh lebih besar untuk mengalahkan itu semua. selain itu, kita juga akan berusaha untuk menunjukkan bahwa kita bisa menjalankan ini semua. itu semua akan membuat ego individu lebih kecil. Setidaknya ini yang terjadi antara saya dan Juli, juga beberapa teman yang saya kenal.

Tapi sekali lagi, kita perlu berpikir 100 kali sebelum memutuskan untuk menikah. Kalau kebetulan pasangan kita berbeda agama, kita perlu berpikir 1000 kali. Tapi, sadari juga bahwa banyak PBA yang sukses berumah tangga. Karena kesuksesan sebuah pernikahan, sebenarnya, bukan ditentukan oleh sama atau bedanya agama si pasangan.

5 comments:

Anonymous said...

saya mengalami keadaan yang sulit. saat saya ditinggal kekasih saya dengan alasan perbedaan keyakinan, saya muslim dan pacar saya kristiani-batak. saya tidak bisa menerima ini, apalagi saya sempat hamil walaupun keguguran. tetapi pacar saya tetap dengan pendiriannya, klo kami tidak bisa bersama. mengapa perbedaan dijadikan jurang?
apakah ada jalan keluar dri ini?

Anonymous said...

suami saya tidak mau punya anak, karena did tak mau menempatkan posisi anak kamu dalam keadaan yang sulit nantinya, harus memilih agama yang mana. klo ternyata mereka memilih katolik, apa reaksi orang tua saya yang kolot dan ga mau membuka hati dan nrima klo semua agama itu baik. sedih banget :(

Lia Marpaung said...

hi anonymous 1: sungguh saya sangat bersimpati dengan situasi anda, dan turut berdoa agar saat ini anda sudah lebih pulih dan dapat merasakan kebahagiaan kembali. Jika ingin mengkontak saya lebih lanjut untuk berdiskusi, silahkan hubungi saya di email: lia_rina_marpaung@yahoo.com

Lia Marpaung said...

hello Anonymous 2, apakah masih dimungkinkan untuk dapat mengupayakan berdiskusi dengan orangtua anda soal keyakinan anak nantinya? Seharusnya ini tidak dijadikan hambatan dalam pernikahan anda. Karena masalah anak, adalah urusan orangtuanya, bukan kakek/neneknya. Dan urusan apa agama anak nanti, seharusnya adalah hak si anak. Kita sebagai orangtua dapat mengenalkan dan mengantarkan anak kepada pemahaman konsep agama dan Ketuhanan.

Dengan senang hati saya undang anda untuk dapat berdiskusi secara langsung dengan saya. Silahkan menghubungi saya via: lia_rina_marpaung@yahoo.com

salam saya,

yoga said...

mirip dengan kisah anda. saya laki-laki muslim, sedangkan kekasih saya kristen protestan. kami juga sangat taat dengan keyakinan kita masing2.
umur saya 21 tahun, kuliah satu fakultas dengan dia. hampir 3 tahun kami berjalan. dan kami menag belum bisa untuk berpisah.
menurut pendapat anda, bagaimana pernikahan beda agama kami nanti, apakah masih bisa, atau sudah tidak. seperti yang telah ada, sekarang UU perkawinan, dan catatan sipil pun tidak bisa membuat kami bersatu mngkn berbeda dengan ibu Lia dan bapak Adi pada saat itu. apakah ada cari lain?