This weekend, I was just busy watching the sad news on the crash of the Sukhoi Superjet 100 (SSJ-100) on last Wednesday. Almost all TV stations were busy providing updated news directly from the location. The plane, which left Jakarta’s Halim Perdanakusuma Airport,
was doing a demonstration flight when it tragically slammed onto the
steep slopes of Mount Salak in West Java.
This brought up to my concern about the flying profession and airline industry and its management in Indonesia. Below is an article written by a Chappy Hakim, a previous Commandant of an Air Force
Base, The Operation Director of The Air Force Head Quarters, Governer of
The Air Force Academy, Assistance to the Chief of Staff of the Personal
Department, and General Commander of the Indonesian Armed Forces Academy.
[Sukhoi Superjet 100, 3 days before the crash]
Bulan lalu beredar berita tentang betapa amburadulnya terminal
Bandara Soekarno- Hatta yang sudah dianggap mengancam keselamatan
penumpang sehingga muncul wacana pemindahan sebagian penerbangan
domestiknya ke Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma.
Mari kita tinggalkan saja sejenak terminal Bandara Soekarno-Hatta
yang memang sudah mirip wajah stasiun Kereta Api itu. Ada masalah yang
lebih darurat untuk segera ditangani, selain keselamatan penumpang di
terminal, yaitu keselamatan penerbangan itu sendiri.
Keselamatan penerbangan yang dimaksud di sini adalah keselamatan alur
take off dan landing pesawat terbang di Aerodrome (Pelabuhan Udara)
Soekarno-Hatta, Cengkareng.Saat ini,di Aerodrome Soekarno-Hatta sudah
tidak tersedia weather radar dalam perangkat air traffic control (ATC)
atau pengatur lalu lintas udara.
Dengan demikian, para pengawas di ATC tidak memiliki kemampuan
menginformasikan kondisi cuaca yang akurat secara real time di kawasan
take off dan landing Aerodrome Soekarno- Hatta. Kondisi radar lainnya
(traffic radar) yang berfungsi untuk memonitor atau memantau lalu
lintas penerbangan sudah tua karena sebenarnya sudah harus diganti
dengan yang baru sejak lima tahun lalu. Transmitter atau pemancar
radio dari menara pengawas kondisinya juga tidak jauh berbeda dengan
traffic radar sehingga kerap instruksi yang diberikan pengawas traffic
kepada pilot menjadi kurang jelas.
Para pengatur lalu lintas udara yang jumlahnya hanya 300 orang,
dengan proses kaderisasi yang agak terhambat, merupakan permasalahan
lain yang juga menuntut perhatian karena jam kerja mereka bisa
bertambah, terutama untuk menangani lalu lintas udara pada jam-jam
sibuk. Kekhawatiran tentang keselamatan penerbangan terutama terjadi
pada jam-jam sibuk take off dan landing, yaitu di pagi hari antara jam
06.00 hingga 08.00 WIB dan petang hari antara pukul 16.00 hingga 20.00
WIB.
Menurut data, pada jam-jam sibuk Aerodrome Soekarno-Hatta harus
menampung 67 pesawat per jam. Adapun kapasitas runwayyang tersedia
hanya untuk menampung maksimum 52 pesawat per jam. Sekadar data
tambahan, pada 2009 pergerakan pesawat per hari di Indonesia telah
mencapai 3.534 yang dengan perkiraan pertumbuhan 5% saja, pada 2015
pergerakan pesawat per hari akan mencapai angka 4.510. Adapun
pergerakan pesawat di Aerodome Soekarno- Hatta per tahun pada 2009 telah
mencapai 111.000.
Dengan perkiraan pertumbuhan 5% per tahun, pada 2015 pergerakan
pesawat akan menembus angka 156.000. Tidak begitu jelas, apa penyebab
terlambatnya peremajaan alat bantu pengatur traffic di Bandara
Soekarno-Hatta ini. Namun, konon, karena tindak lanjut dari UU
penerbangan yang baru disahkan tahun lalu menyebutkan bahwa harus segera
dibentuk ATC single provider (jasa pelayanan tunggal dari pengatur lalu
lintas udara, yang selama ini terdapat lebih dari dua provider) dalam
dua tahun setelah UU diundangkan.
Maka, proses peremajaan pun harus menunggu terbentuknya institusi
tersebut. Adapun sampai saat ini, pembentukan ATC single provider
statusnya “belum terdengar”.Yang turut memperparah traffic
penerbangan pada take off dan landing adalah adanya restriksi
(pembatasan) alur pesawat di atas kawasan Cengkareng serta Jakarta dan
sekitarnya yang mengharuskan penerbangan pendekatan menuju runway 07
left dan 07 right harus dilakukan hanya dari satu arah tertentu saja.
Ini pula yang menyebabkan bertumpuknya antrian pesawat (bottle neck)
dalam proses take off dan landing, terutama pada jam-jam sibuk tadi.
Kondisi ini membuat para penerbang dan petugas pengatur lalu lintas
udara harus super ekstra hati- hati. Keteledoran sedikit saja pasti
akan berbuah fatal. Itulah sebabnya, sekuel take off dan landing di
Aerodrome Soekarno-Hatta belakangan ini tidak pernah diberikan
kepercayaan kepada para pilot yunior. Bahkan para pilot senior pun
mengakui harus ekstra konsentrasi dan sangat melelahkan (fatigue)
apabila melaksanakan misi penerbangan di Aerodrome Soekarno- Hatta.
Belum lagi keluhan para pilot akan hadirnya “layangan” di bulan-bulan
tertentu pada alur final approach runway Soekarno- Hatta (alur
menjelang pendaratan) dan gangguan asap rutin yang terjadi di
bulan-bulan lain sebagai akibat dari permainan mercon dan petasan di
sekitar Aerodrome Soekarno-Hatta. Khusus untuk hal ini, pihak
otoritas pelabuhan udara (airport authority) memang telah membentuk tim
yang melakukan pendekatan kepada penduduk setempat yang bermukim di
sekitar pelabuhan udara.
Keseluruhan hal di atas menuntut kita semua untuk segera mengambil
langkah segera untuk mengatasi permasalahan yang tidak sederhana dan
membahayakan keselamatan terbang tersebut. Perhatian yang cukup besar
dari pemerintah terhadap dunia penerbangan akhir-akhir ini juga perlu
ditindaklanjuti agar kondisi yang “membahayakan” di Aerodrome Soekarno-Hatta (yang tidak atau kurang terekspos) dapat cepat ditangani.
Sulit untuk dibantah bahwa dalam soal take off dan landing di Aerodrome Soekarno-Hatta dibutuhkan para penerbang “jagoan” dan pengatur lalu lintas udara yang “super terampil”.
Tentang ini, konon para penerbang Singapore Airlines yang akan dicek
kualifikasinya sebagai captain pilot, ajang ujiannya adalah di Aerodrome
Soekarno- Hatta. Bila mampu take off dan landing di aerodrome ini
dengan mulus, dipastikan sang captain pilot tidak akan menemui kesulitan
apa pun untuk take off dan landing di aerodrome mana saja di seluruh
dunia!
Chappy Hakim
Penerbang, Pemegang ATPL
(Airlines Transport Pilot Licence) No 2391
No comments:
Post a Comment