March 5, 2009

Talkshow @ Voice of Human Rights Media Online

Barangkali karena beberapa waktu lalu mengomentari Rubrik Konsultansi Hukum jaringan Radio online "Voice of Human Rights" yang mengulas mengenai pernikahan beda agama disini, hari ini saya diundang oleh pengasuh rubrik tersebut dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat untuk menjadi salah satu narasumber dalam talkshow radio tersebut, yang juga mengangkat issue terkait pernikahan beda agama dan beda kewarganegaraan. 

Tentu saja saya menyambut gembira undangan mereka, dan menjadikan kesempatan ini untuk kembali mengadvokasikan agar terjadinya perubahan cara pandang dalam melihat pernikahan beda agama. Bahwa seharusnya perbedaan agama bukan merupakan larangan perkawinan, karena hal ini menyangkut hak dasar baik laki-laki maupun perempuan yang telah cukup umur untuk dapat menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang sah secara hukum. Dan sudah seharusnya negara tidak melakukan tindakan diskriminatif dan sistematis yang mengabaikan faktor pengesahan atau pencatatan pernikahan beda agama, dan juga beda kewarganegaraan. Negara berkewajiban melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinan warga negaranya, tanpa memasuki "ranah pribadi" warga negaranya, dalam hal ini terkait agama yang dianut oleh warga negaranya. 

Dalam kesempatan talkshow hari ini, saya juga kembali mengingatkan pentingnya melakukan pencatatan status perkawinan dan memiliki akte perkawinaan yang sah dimata negara. Karena hal ini merupakan hal mendasar, bukan hanya bagi akurasi data yang dapat dipakai guna kepentingan administrasi kependudukan ataupun keperluan statistik lainnya, tetapi yang terpenting juga juga menyangkut adanya pengakuan akan kepastian hukum terhadap pasangan tersebut, melindungi hak perempuan, hak anak, dan juga warisan. 

Selain hal diatas, saya juga menegaskan kembali mengenai kesalahan persepsi yang terjadi didalam tataran masyarakat yang beranggapan bahwa Indonesia adalah negara agama. Indonesia BUKAN negara agama, karena secara konstitusi Indonesia tidak mengenal adanya agama negara. Konstitusi negeri ini mewajibkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya, sebagai tercantum dalam UUD 45 Pasal 29. Untuk itu seharusnya Pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak memiliki kewenangan untuk memilih agama-agama yang ada menjadi agama resmi, agama yang diakui, ataupun tidak diakui. Dan oleh karenanya, pemerintah juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga negaranya dikarenakan agama yang dipeluknya, atau keinginan warga negaranya untuk menikah beda agama.  

Bahkan instrumen hukum internasional telah diratifikasi Indonesia, yakni Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik pada tahun 2005. Artinya, pemerintah bertanggungjawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan hak asasi manusia yang tidak lagi sekedar bersifat nasional, tetapi internasional. 

Dan sekali lagi, menikah adalah hak asasi manusia. Termasuk pilihan untuk menikah beda agama. Bukan begitu ???? :)

2 comments:

Miss G said...

Luarbiasa! Saya catat poin penting bhw negara ini bukan negara agama dan (seharusnya) tidak memiliki agama negara! Itu yang sengit diperdebatkan oleh oknum2 tertentu yang selalu saja memaksakan kehendak mereka untuk mengarahkan negara persatuan Indonesia ini menjadi sebuah negara tertentu dengan UU tertentu juga. Saya jadi melihat sebuah titik terang bhw melalui perjuangan teman2 seperti Lia ini, akan dibangunkan kesadaran ttg apa sesungguhnya negara ini dan apa yg BUKAN sesungguhnya negara ini.

Hmm.. perbedaan itu indah, ketika berdampingan. (^_-)

Lia Marpaung said...

G, thanks for your support ! luv u, sis ! :) yaap, perbedaan itu indah saat berdampingan...berwarna dan bermakna...perbedaan juga membuat kita terus belajar....mengenai kehidupan, kesabaran, dan berbagai pelajaran kehidupan lainnya !

perbedaan itu menjadi indah ketika keberadaannya disadari dan tidak ditakuti...