April 14, 2009

Happy Easter, Big Bro !




Beberapa waktu lalu saya menuliskan cerita kesaksian abangku, Hotmauli Marpaung, yang juga telah ditayangkan di saluran televisi SCTV dan Solusi O'Channel. Cuplikan ceritanya dapat dibaca di sini. 

Selama 14 tahun sejarah hidupnya telah menorehkan begitu banyak cerita hitam. Berkali-kali ia mencoba untuk bangun dan melawan kuatnya godaan jarum-jarum suntik dan narkoba. Berkali-kali juga ia jatuh dan tak sanggup melawannya. Hingga 3 tahun lalu saat ia mulai pasrah, saat kami, keluarganya pun telah angkat tangan dan menyerahkan ia sepenuhnya kepada nasip, bahkan maut. Dan saat itulah tangan Tuhan menjangkau tangan-tangan kami yang terangkat, pasrah. Pintu pertobatan dan ruang pemulihan pun terbuka baginya, meski ada kenyataan pahit yang harus dijalaninya. Abangku divonis HIV. Abangku divonis AIDS ! 

Teringat aku malam itu. Saat aku masih tinggal jauh di timur Indonesia. Saat aku menikmati kesendirian malam di Papua, dan tiba-tiba telepon berdering. Dari abangku. Saat itu telah cukup lama kami berhenti berbicara, bahkan hampir memutuskan tali persaudaraan. Aku jenuh dan letih menghadapi "neraka" yang ia sodorkan padaku, pada kami. Berbagai perseteruan bahkan perkelahian hingga mencederai diriku pun pernah, bahkan cukup sering ia "hadiahkan" padaku. Apalagi airmata kemarahan dan murka, tak terhitung sejak ia mulai memakai segala jenis obat-obatan terlarang itu dan menjadi pribadi yang bahkan tidak kami kenali lagi. Namun malam itu, ia menangis ketika menelponku. Dan aku tertegun diam saat abangku mulai memohon maaf dariku. Ada apa gerangan ??? Semakin aku diam dan terhenyak saat ia menyampaikan bahwa baru saja dokter memvonisnya menderita HIV bahkan AIDS. 

Sekalipun dalam pekerjaanku di Papua juga menangani masalah HIV/AIDS, namun berbeda rasanya saat aku harus menerima kenyataan bahwa anggota keluargaku, abangku sendiri, menjadi seorang pengidap penyakit yang belum ada obatnya ini. Sekalipun seringkali abangku membuatku terluka, namun rasanya bukan ini penghukuman yang harus ia terima. Juga bukan begini hukuman yang harus ditanggung keluargaku...aah, berbagai pikiran dan cemas, termasuk rasa malu saat itu tidak henti menekan pikiranku...

Abangku telah menjalani hari-harinya dengan penyesalan, juga berbagai stigma bahkan diskriminasi akibat cerita kelam hidupnya. Haruskah aku menambah bebannya dengan malu mengakui keberadaannya ??? Dan malam itu, sekalipun selimut dan bantal tidurku basah oleh airmataku, aku bertekad untuk dapat memberikan dukungan terbaik bagi abangku. Seiring waktu yang terus berjalan, kemurahan Tuhan terus menuntun abangku untuk dapat menjadi berkat bagi banyak orang lain. Untuk dapat bersaksi. Bahwa kasih dan penyertaan Tuhan melebihi berbagai duka dan luka. Tuhan juga mengijinkan abangku untuk mulai terlibat dalam pelayananNya, sebagai evangelist serta mengelola Yayasan Pembaruan, suatu yayasan yang didirikan untuk memberikan dukungan dan pertolongan bagi anak-anak pecandu narkoba dan juga bagi orang-orang terbuang, yang disingkirkan oleh keluarga dan lingkungan karena berbagai kelemahan, kekurangan termasuk kelainan mental. 

Abangku yang dulu seorang "preman", kini menjadi pribadi yang memiliki kasih yang rela mengorbankan hari-harinya untuk menolong dan memberikan dukungan bagi mereka yang sesungguhnya tidak ia kenal, namun ternyata ia diberi kemampuan untuk  membagi kasihnya bagi mereka. Untuk belajar sekaligus mempraktek-kan kasih Tuhan Yesus, yang telah ia terima, dan untuk membagi kemurahan dan pengampunan yang diterimanya, kepada banyak orang lain diluar sana yang juga membutuhkan. Tuhan pulihkan abangku....yang dahulu kami anggap tidak mungkin, bahkan dimungkinkanNYA melebihi dari apa yang kami bayangkan bahkan inginkan dahulu. Ya, melihat perubahan hidup abangku adalah suatu keajaiban yang Tuhan ciptakan bagi keluarga kami. 

Dan saat perayaan Jumad Agung ini, kembali aku tertegun bangga dan terharu melihat abangku. Dihadapan ratusan jemaat gereja, dengan tenang dan tegas ia mengatakan bahwa sungguh ia mengucap syukurnya kepada Tuhan, karena sekalipun ia mengidap HIV bahkan AIDS, namun Tuhan memulihkan hidupnya dan membawanya kembali kepada kasih Tuhan. 

Happy Easter to you, my dear brother. May God bless you always and lead you to His path, to the green pasture and HIS still waters. May you always be the blessing for others, as you have been blessed by HIM. 

2 comments:

goresan pena said...

mbak...jadi bingung saya..
di satu sisi banyak yang berkoar2 kalau AIDS bukanlah penyakit atau kutukan atau hukuman..tetapi di tulisan ini saya menemukan kalimat itu.
apakah benar, ini sebuah penghukuman, mbak?

Lia Marpaung said...

hesra sayang, jangan bingung doonk...:)

Benar memang ada pandangan "fundamentalis" dari sekelompok tokoh/masyarakat agama, bahwa HIV dan AIDS adalah kutukan Tuhan. Menurut mereka, penderita HIV dan AIDS memiliki hidup yang penuh dosa sehingga layak dikutuk. [barangkali mereka ini memang diberi kuasa oleh Tuhan untuk dapat mengatakan mana yang terkutuk, mana yang tidak terkutuk.entahlah...]

Ada juga yang memiliki pandangan, bahwa HIV dan AIDS adalah hukuman bagi penderitanya. Sebagai akibat dari tindakan masa lalunya. Ingat, hukum tabur-tuai ? barangkali inilah dasar justifikasi mereka yang memiliki aliran ini. Walau seharusnya dapat dilihat kasus per kasus. Karena tidak semua penderita HIV atau AIDS mendapatinya sebagai konsekwensi perbuatan masa lalu mereka. Bagaimana dengan ibu2 yang justru terkena dari suaminya yang doyan jajan ? Bagaimana dengan bayi2 yang baru lahir dan telah terkena virus ini dari ibu mereka ?

Ada yang berpandangan bahwa HIV dan AIDS hanyalah penyakit. Sama seperti penyakit2 lain yang ada dan telah dikenal di dunia ini, yang memiliki cara penularan, pengobatan dan penanganan yang berbeda-beda dan khas, sesuai dengan jenis penyakitnya.

Nach, sekarang tergantung kita. Mau memandang hal ini dari sudut mana. Kalau buat saya, silahkan saja orang memiliki sikap dan pandangan yang berbeda-beda. Yang terpenting, jangan sampai kita mendiskriminasikan si ODHA itu sendiri dan membatasi hak-hak kemanusiaan si ODHA, terutama hak mereka untuk dapat menjalani hidup dengan terhormat.