June 28, 2008

Dari Yogya....Mengenang Alm. Nenek...


Ada hal unik lain yang kulihat saat sedang berbelanja di Pasar Bringharjo. Mayoritas penjualnya adalah kaum perempuan yang telah cukup lanjut usia. Bahkan ada yang sudah terlihat tua. Aaahh.....perempuan memang hebat. Khususnya para perempuan desa yang sederhana, namun memiliki semangat juang yang tinggi. Seperti tidak ada kata "pensiun" buat mereka. Tak hanya menganggumi mereka sehingga membuatku selalu senang dan ingin memotret photo perempuan tua yang sedang bekerja, namun aku juga menganggumi setiap cerita kehidupan mereka. Berbicara dengan mereka. Saat bersama mereka, tiba-tiba aku bisa menjadi seorang anak dan sekaligus "pendengar" yang baik bagi mereka.....hehehe....padahal biasanya aku lebih senang "bercerita" daripada mendengar cerita teman-temanku....upss,.....hihihihi, maap yaa teman2ku.....:) Bagiku, para perempuan inilah yang sesungguhnya adalah pahlawan keluarga, masyarakat dan juga bangsa ini. Dari merekalah sesungguhnya kita belajar akan makna ketulusan, pengorbanan dan juga kesetiaan. Ke-3 hal yang aku sendiri tak yakin apakah aku cukup mengerti maknanya apalagi memilikinya dalam diriku.  

Potret lain yang juga kulihat di pasar traditional ini adalah gambaran seorang penjual aneka kue khas Yogya ini. Saat melihatnya, entah mengapa aku jadi teringat almarhum nenek [umak]ku yang berasal dari Palembang. Aku jadi merindukan beliau. Dan mengenang beliau dalam ingatan kanak-kanakku. Yaach, beliau meninggal saat usiaku masih 14 tahun. Sehari-hari beliau dulu juga selalu mengenakan kain kebaya dan stagen seperti si ibu dalam fotoku ini. Beliau juga sangat pintar membuat kue. Ada kue khas beliau yang biasa dibuatnya untuk kami saat kami mengunjungi beliau. Kami menyebut kue beliau itu "kue burok". Burok dalam bahasa Palembang artinya jelek. Karena memang menurut kacamata kami saat itu, kue nenek nampak terlihat aneh. Berbentuk persegi panjang dengan pola bulatan kecil yang dicetak dari garpu. Namun walau bentuknya aneh, rasanya luar biasa enak. Terbuat dari buah nanas dan entah apa lagi [maklum....ga ngerti masak...hehehe!] Yang jelas, kue "burok" nenek umak adalah kue kegemaran ke empat orang cucunya. Setiap kali kami berlibur dan selesai berlibur adalah suatu keharusan bagi nenek untuk membekali kami dengan beberapa toples kue ini. Sehingga akhirnya kue "burok" nenek jadi cukup terkenal di kalangan teman-teman sekolah kami yang saat itu tinggal di Bandung, teman-teman almarhum mami dan juga penduduk desa dimana nenek tinggal, yaitu dusun Lembak, Prabumulih. Singkatnya, kue Burok nenek kemudian menjadi "dipaten"kan menjadi kue khas daerah tersebut. Dan menjadi kue yang harus disajikan saat lebaran tiba. Bangga sekali rasanya kreasi kue bikinan nenek yang awalnya dibuat beliau untuk menyenangkan hati cucu-cucunya, kemudian menjadi kue yang cukup terkenal dan digemari oleh banyak orang lain. Juga bangga karena kue bikinan nenek kemudian dikenal oleh banyak orang sesuai dengan nama yang kami berikan saat itu, yaitu Kue Burok :) Saat nenek telah meninggal, saban kali kami pulang ke kampung nenek, warga setempat yang dulu sempat diajarkan nenek membuat kue ini, biasanya akan berbaik hati membuatkan kami kue Burok bikinan mereka. Walau tentunya bagi kami tidak ada yang seenak kue bikinan nenek kami..... hehehe.....oya, bahkan beberapa kerabat nenek juga sempat menawarkanku bila ingin belajar membuat kue ini. Barangkali mereka kasihan juga, karena dari dulunya keluarga nenek memang terkenal sebagai pembuat aneka kue enak khas Palembang, tapi kok justru cucu perempuan dari anak perempuan satu-satunya tidak bisa masak malah "musuhan" sama dapur dan aneka perkakasnya....hehehehe 

Aaah... Berada di Yogya, dari sudut Pasar Bringharjo, justru membuatku merindukan alm. nenek umakku. Juga seorang perempuan sederhana dari dusun Lembak di Kota Prabumulih, Sumatra-Selatan. Merindukan kampung halaman beliau dan alm. mami. Membuatku teringat masih mengalir darah Palembang dalam diriku. Dari keluarga asli Palembang yang cukup dikenal sebagai ahlinya pembuat aneka kue dan makanan khas Palembang. Namun entah kapan akhirnya aku bisa mewarisi keahlian alm. nenek dan mami, atau paling tidak memiliki "kesungguhan" untuk dapat belajar mengakrapkan diri dengan dapur....[hmm, yang ini aja membuat suamiku suka pesimis....hehehe....] 

2 comments:

goresan pena said...

baca tulisan ini jadi ketawa sendiri. curhat ya bu?
hm, suatu saat kalau sudah'terpaksa' pasti bisa deh bersahabat dengan dapur...

Lia Marpaung said...

hihihi iya niih curhat juga sesungguhnya....gemez ma diri sendiri yg dari dulu pengen belajar masak [katanya...] tapi kok ya ga pernah dijalankan....hehehe....adaaa adja sejuta alasan untuk "menunda"nya....:)